Adat Pernikahan Tradisional Suku Dani di Jayapura
Oleh: Esa Meiana Palupi
Pendahuluan
Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki kekayaan baik sumber daya alam dan budaya yang melimpah. Wilayahnya yang berada pada sisi paling timur Indonesia membuat berbagai macam kekayaannya itu menjadi ciri khas yang tiada duanya. Tak hanya itu, kebudayaan suku-suku di Papua pun memiliki ciri khas yang lain dari kebudayaan lainnya di Indonesia. Wilayahnya yang begitu jauh dari ibu kota negara membuatnya dinilai sebagai wilayah yang memiliki budaya primitif.
Bahkan bagi sebagian orang yang hidup di Indonesia bagian Barat menilai kebudayaan suku-suku di Papua merupakan sesuatu yang kurang etis. Dari segi pakaian adat misalnya, para pria Suku Dani masih mengenakan koteka yang terbuat dari kunden kuning, sedangkan wanitanya menggunakan pakaian berjuluk wah yang berasal dari rumput/serat dan tinggal di Honai-Honai (sebuah gubuk beratapkan jerami).Salah satu suku bangsa di Irian Jaya atau Papua yang masih melestarikan pakaian adat tersebut adalah Suku Dani.
Suku Dani berada di Papua Timur. Mereka tinggal di wilayah Pegunungan Tengah, yaitu di Kabupaten Jayawijaya yang beribukota di Wamena.Orang Dani memiliki ciri tersendiri. Kulitnya berwarna hitam pekat, rambutnya keriting ikal. Para lelaki memiliki tinggi sekitar 165-170 cm, sementara tinggi kaum wanita kira-kira 145 cm. Mereka tinggal di sekitar Lembah Baliem yang di lalui oleh Sungai Baliem. Tak hanya dari segi fisiknya, dari segi budayanya punSuku Dani memiliki keunikan tersendiri dan berbeda dari kebudayaan lain di wilayah Indonesia terlebih Indonesia bagian Barat. Suku ini memiliki berbagai macam upacara yang begitu menarik untuk dipahami, salah satu diantaranya adalah upacara adat pernikahan.
Adat pernikahan merupakan ritus sakral yang begitu istimewa bagi sebagian orang, khususnya sang mempelai, terlebih bagi mempelai wanita. Beragam pesta digelar dengan meriah untuk merayakannya. Di beberapa daerah di Jawa, adat pernikahan dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan tradisi yang telah ada secara turun-temurun. Di Sumatera, adat pernikahan dilakukan semeriah mungkin, bahkan hingga 7 hari lamanya. Berbagai gaya upacara dilaksanakan dengan gaya yang dapat dikatakan mewah dan meriah dari masing-masing daerah.
Adat pernikahan yang digelar dengan beragam pestaseperti di daerah Sumatera dan Jawa nampaknya tak diikuti oleh wilayah di sebelah timurnya, tak terkecuali Irian Jaya atau Papua. Di Jayapura, Suku Dani ini memiliki adat pernikahan yang cukup unik bahkan aneh bagi sebagian orang. Mereka tak menggelar acara pernikahan dengan meriah seperti di daerah Sumatera atau ritual yang berbelit-belit seperti dalam upacara adat Jawa. Pesta pernikahan Suku Dani sangat sederhana. Tak hanya itu, adat pernikahan ini juga dapat menunjukan sistem sosial masyarakat Suku Dani dan kedudukan wanita yang ada pada suku ini.
Lingkungan Tinggal Suku Dani
Suku Dani adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Irian Jaya atau Papua, tepatnya di Profinsi Papua Timur. Mereka tinggal di wilayah Pegunungan Tengah, yaitu di Kabupaten Jayawijaya yang beribukota di Wamena. Wilayah ini terdiri dari gunung bukit berbatu, jurang dan juga lembah. Lembah yang mereka tempati ini dinamakan Lembah Baliem. Dinamakan Lembah Baliem karena daerah ini dilalui Sungai Baliem di sebelah selatan yang berasal dari Puncak Jayawijaya dan Puncak Trikora.[1]
Secara tradisional Suku Dani bertetangga dengan Suku Ngalum di sebelah timur, Suku Ekari di sebelah barat, Suku Asmat di sebelah Tenggara, dan Suku Yati di sebelah selatan.Dalam berkomunikasi, mereka mempunyai bahasa tersendiri. Mereka menggunakan bahasa Dani. Namun dalam penggunaannya, bahasa ini terbagi menjadi dua, yaitu Bahasa Dani Barat dan Bahasa Dani lembah Besar.
Sebutan Suku Dani berasal dari Le Roux (pimpinan ekspedisi Belanda-Perancis tahun 1926). Suku Dani sendiri menyebut dirinya nit Balimege yang berarti kami orang Baliem.Suku Dani hidup dalam masyarakat prajurit, para pria tidur di bersama dalam pilai (rumah para prajurit) untuk menjaga desa mereka, sedangkan para wanitanya, baik yang sudah menikah maupun belum, tidur di dalam abiaisatau ebe-ae (rumah para wanita).
Pakaian Tradisional
Suku Dani memiliki beberapa pakaian tradisional, diantara holim, yokal, dan sali. Holim digunakan kaum lelaki pada saat melakukan kegiatan sehari-hari, seperti berladang, beternak babi, dan juga upacara adat. Yokal dipakai oleh kaum wanitayang sudah menikah, dan hanya meutupi bagian depan saja. Sedangkan bagian belakang ditutupi oleh noken yang dikenakan di kepala. Mereka memakainya dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Jika wanita dewasa memakai yokal maka gadis Suku Dani memakai Sali. Sali berbentuk seperti rok dengan bahan dari kulit kayu atau sejenisnya. Biasanya saat berpesta suku ini memakai berbagai perhiasan seperti kalung kerang, kalung manik-manik, gelang untuk kaki dan tangan dari anyaman rotan. Seorang laki-laki Dani dalam pakaian resmi memakai perhiasan lebih banyak dari wanita. Mereka memakai jambul berwarna-warni dari bulu burung, hidungnya di beri tusukan dari tulang atau taring babi. Selain itu, mereka juga menggunakan arang untuk menghias dahinya.
Mata Pencaharian Suku Dani
Suku Dani hidup bercocok tanam di ladang dengan sistem berpindah. Kebun-kebun mereka tersebar di Lembah Baliem, dengan lereng-lereng gunung yang curam. Namun ada juga berkebun yang telah menetap dengan kebun di belakang pemukiman. Tanah yang telah digunakan sewaktu-waktu dapat ditinggalkan dan digunakan kembali ketika kesuburannya sudah pulih. Satu atau beberapa kelompok kerabat dapat bergabung untuk menguasai sebidang lahan. Tiap kelompok kerabat tersebut memiliki batas hak ulayat yang ditandai dengan sungai, gunung, atau jurang.
Anak laki-laki berusia diatas lima tahun sudah dianggap dewasa, sehingga tidak boleh tinggal di ebe-ae, tetapi tinggal bersama ayahnya di honai. Pada saat inilah anak laki-laki mulai diajarkan tentang nilai-nilai, norma-norma, adat istiadat orang Dani. Anak juga mulai diajak ikut bekerja di kebun, membuat pagar, mengelola makanan, membawa kayu bakar, ikut berperang melawan musuh, dan mula hadir dalam upacara ritual. Kadang kala anak laki-laki juga membantu ibunya di lading sambil menjaga adiknya.
Anak wanita lebih dekat dengan ibunya. Karena ia selalu bersama ibunya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Misalnya memasak, menjaga adik, mengantar makanan ayah, memelihara babi, menganyam noken, dan membant membawa hasil kebun ke rumah. Bahkan pada masa kini, anak wanita dapat membantu ibunya menjual hasil kebun ke pasar. Anak-anak wanita ini tetap diawasi oleh ayah dan kerabatnya di lingkungan stilimon ketika bekerja. Malahan mereka akan sangat berperan dalam menentukan jodoh anak wanita.
Pada masa kini, mereka sudah mulai menanam ubi kayu, kedelai, jagung, kedelai, kacang tanah, kopi, dan apel. Juga tanaman sayur, seperti cabai, tomat, buncis, bawang merah, ketimun, kentang, kubis, sawi, dan terong. Hasil tanaman ini dijual kepada para pendatang di Pasar Wamena. Biasanya sambil beristirahat di ladang, kaum wanita membuat tas jala dari serat atau tangkai anggrek Dendrobium. Tas ini dipakai untuk mengangkat barang-barang seperti hasil lading, anak babi, dan bayi. Biasanya tas disangkutkan di kepala kadang-kadang menggelantung sampai ke pantat.
Selain bercocok tanam, beternak babi merupakan mata pencaharian mereka. Bagi Suku Dani, babi memiliki nilai penting, yaitu sebagai makanan utama, darahnya dipakai untuk berbagai upacara gaib, tulang dan ekornya dibuat hiasan, tulang rusuknya dibentu menjadi isau mengupas ubi, alat kelaminnya diikatkan pada gelang untuk menolak roh jahat, dan sebagai alat ukar ekonomi juga sekaigus mengukuhkan perdamaian dan persatuan antar kelompok kerabat mauun antar konfederasi dalam upacara pesta babi yang besar.[2]
Religi
Sebagian masyarakat Suku Dani telah memeluk agama Kristen akibat pengaruh misionaris Eropa yang pernah datang ke lokasi sekitar tahun 1935 ketika Pemerintah Belanda membangun kota Wamena. Meskipun demikian, Suku Dani masihmemiliki kepercayaan adat yang lebih dikenal dengan konsep yang dinamakan Atou. Mereka memberikan penghormatan melalui upacara-upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Suku Dani percaya roh tersebut dapat memberikan kesaktian seperti ksaktian menjaga kebun, kesaktian mengobati atau menyembuhkan penyakit sekaligus menghindarinya, serta kesaktian untuk memberi kesuburan pada tanah yang digunakan untuik bercocok tanam.[3]
Konsep Atou ini memungkinkan kesaktian yang dimiliki para leluhur dapat diturunkan secara patrilineal, dalam arti hanya kaum lelaki yang dapat mewariskan pada generasi berikutnya. Kenyataannya ada juga wanita yang dapat mewarisinya walaupun tidak data diteruskan kepada keturunannya.Lambang religi mereka adalah batu keramat berbentuk kapak lonjong yang diasah halus mengkilat yang disebut kaneke.Batu ini dianggap sebagai usat roh orang mati dan disimpan di dalam ruang khusus dalam rumah kelompok laki-laki (honai) dengan benda-benda sakral lainnya, seperti kayu pemukul dan jala-jala gendong. Benda-benda ini baru dikeluarkan jika ada upacara khusus, seperti perkawinan, atau pada pesta babi.
Meski telah memeluk agama Kristen, banyak diantara upacara-upacara mereka masih bercorak budaya lama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Seluruh upacara keagamaan diiringi dengan nyanyian, tarian dan persembahan terhadap nenek moyang.Beberapa upacara keagamaan Suku Danidiantaranya rekwasi dan Hagasir. Pada rekwasi ini para prajurit biasanya akan membuat tanfa dengan lemak babi, kerang, bulu-bulu, kus-kus, sagu rekat, getah pohon manga, dan bunga-bungaan di bagian tubuh mereka. Tangan mereka menenteng senjata-senjata tradisional khas Suku Dani seperti tombak, kapak, parang dan busur beserta anak panahnya. Sementara Hagasir merupakan upacara keagamaan yang bertujuan untuk kesejahteraan keluarga, juga ketika mengawali dan mengakhiri peperangan.[4]
Adat Pernikahan dan Kedudukan Wanita Suku Dani
Adat pernikahan Suku Dani dinamakan Maweh. Maweh ini merupakan upacara ritual yang unik karena dilakukan secara massal setiap empat hingga enam tahun sekali. Pada saat ritual dimulai, seluruh gadis yang dianggap memenuhi syarat sebagai “pengantin” secara otomatis menjadi mempelai wanitanya. Nilai seorang gadis ditentukan dari perkembangan fiisik mereka dan kemampuannya untuk bekerja. Sedangkan, bagi seorang laki-laki apabila ia telah memiliki jenggot lebat dan beberapa ekor babi, itu berarti ia sudah memenuhi syarat untuk memiliki seorang istri. Ia akan membayarnya dengan babi.
Sebagian besar gadis-gadis dinikahkan melalui perjodohan yang sudah diatur oleh orang tua mereka dan bahkan diatur sebelum mereka memasuki usia remaja karena mereka akan menjadi dewasa sebelum upacara pernikahan selanjutnya digelar.[5] Perkawinan massal dilakukan dengan memilih tempat upacara di desa mayoritas mempelai wanita berasal. Tentu saja dipilh desa yang mempunyai batu kaneke. Calon-calon mempelai dikumpulkan dan dijaga ketat untuk menghindari terjadinya penculikan. Upacara berlangsung selama 10 hari. Diawali dengan acara merias mempelai wanita beberapa hari sebelum pertemuan resmi kedua mempelai.
Sebagai bagian dari proses Maweh, sang gadis akan menukar sali dengan sebuah yokel. Di akhir perayaan, para gadis tersebut akan dijemput oleh kerabat laki-laki dan rombongannya. Setelah itu, dilanjutkan dengan upacara makan daging babi ditempat tinggal mempelai laki-laki oleh kedua mempelai.Upacara Maweh diakhiri dengan kedua mempelai memasuki ebai-ebai untuk tidur. Selama upcara berlangsung, orang terus-menerus menyanyi, menari, makan dan minum. Daging babi dibagikan sesuai adat sopan santun kepada para kerabat, teman, dan tamu.
Percintaan romantik seperti yang dikenal di dunia Barat nyaris tidak dikenal dalam budaya suku Dani. Namun, pertalian yang kuat sangat terasa diantara sesama anggota gender yang sama. Pada satu kesempatan, bisa jadi seorang pria dan wanita dewasa kedapatan saling bermesraan. Tapi ini merupakan hal yang sangat jarang sekali terjadi. Seorang istri bagi suku Dani layaknya seekor babi. Bagi mereka, keduanya merupakan harta hidup dan kekayaan seorang prajurit. Maweh hanya bisa dilaksanakan berdasarkan keputusan orang terpenting di daerah itu. Ia adalah kepala suku atau semacamnya dan memiliki kuasa untuk menentukan sebuah pernikahan tunggal.[6]
Terkadang seorang bocah wanita berumur delapan tahun mendapati dirinya menikahi seorang pria berumur 80 tahun. Namun ini bukan berarti bahwa ia harus tinggal bersama dengan kelompok wanita yang lebih tua. Ia bisa dan sering kali, pergi bergabung dengan kelompok lain yang sepadan dengan usianya. Tapi, mengingat bahwa si gadis sudah di bayar dengan babi, maka suami barunya harus memberi seekor babi kepada suaminya yang dahulu sebagai tanda perceraian. Pernikahan semacam ini jarang sekali melibatkan perasaan.
Maka tidak heran apabila jarang pula ada pihak yang sakit hati karena merasa dirugikan. Upacara semacam ini menyediakan segala sesuatunya serta mengurus pasangan bagi semua wanita yang cacat fisik atau menderita cacat bawaan sejak lahir. Para wanita ini biasanya dinikahkan para kepala suku. Sementara itu, para janda akan diurus oleh saudara laki-laki dari mendiang suami mereka.
Kesimpulan
Suku Dani merupakan salah satu suku di Provinsi Papua Timur yang memiliki berbagai macam kebudayaan. Seperti kebanyakan suku di Papua pada umumnya, orang-orang Dani mengenakan koteka dan rok rumbai-rumbai yang masih sangat sederhana. Mereka masih mempertahankan religi dengan konsep Atou meskipun beberapa diantara mereka sudah memeluk agama Kristen. Satu dari sekian upacara tradisional yang menarik untuk di perhatikan adalah upacara pernikahan yang sering disebut dengan Maweh.
Maweh merupakan upacara adat yang istimewa bagi Suku Dani karena dilaksanakan setiap empat hingga enam tahun sekali. Tak seperti upacara meriah pada umumnya, upacara ini dilaksanakan dengan sederhana. Pesta babi adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu dalam upacara ini. Satu hal yang perlu dicermati dalam upacara Maweh. Kedudukan wanita Suku Dani dapat terlihat dari upacara ini. Wanita Suku Dani dan babi memiliki kedudukan yang dapat dikatakan sama.
Babi bagi Suku Dani memang hal yang sangat istimewa, seistimewa seorang wanitanya. Nampaknya babi mempunyai nilai penting dalam kehidupan Suku Dani. Selain sebagai makanan utama, babi juga digunakan sebagai mahar untuk perkawinan. Meski demikian, hal ini merupakan pandangan dari suatu kebudayaan yang wajib dilestarikan. Intinya,penilaian yang menganggap bahwa kebudayaan tradisional di Papua lebih rendah dari daerah lain adalah salah. Memang benar, teknologi belum menampakkan dirinya di wilayah tersebut, tetapi bukan berarti hal itu dijadikan alasan untuk menilai rendah tingginya suatu kebudayaan.
Kesederhanaan yang dimiliki oleh wilayah ini merupakan budaya yang setinggi-tingginya yang memang sewajarnya dilestarikan. Minimnya buku yang mengulas tentang kebudayaan Papua, khususnya Suku Dani membuat orang-orang tak sepenuhnya mengenal dan memahami betapa tingginya kebudayaan mereka yang tetap terjaga bahkan di masa modernisasi selama ini.
Sumber :
[1]Sri Saadah dan Elizabeth T.G, Aneka Budaya Masyarakat Dani (IRJA) dan Sumba (NTT), (Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, 2002), hlm. 3-5.
[3] PalingIndonesia, “Mengenal Suku Dani di Tanah Papua”, dalam http://palingindonesia.com/mengenal-suku-dani-di-tanah-papua/.html, di posting pada 3 Juni 2011, di akses pada 18 Februari 2014 pukul 15.50 WIB
[4]Novita, “Mengenal Lebih Dekat Suku Dani”, dalam http://arsipbudayanusantara.blogspot.com/2013/06/mengenal-lebih-dekat-suku-dani.html, di akses pada 13 Februari 2014 pada 13.58 WIB.
[5]Wyn Sarget, Benturan Budaya di Puncak Jaya, dlm. George Miller,Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hlm. 294.
No comments:
Post a Comment