Saturday, July 15, 2017

Jalan Terjal Perjuangan Hak Pilih Perempuan




Hak pilih perempuan tidak datang cuma-cuma, bukan hadiah dari langit, apalagi terberi secara alami. Dia adalah hasil perjuangan yang panjang, berliku dan penuh pengorbanan. 

Film terbaru garapan sutradara Inggris Sarah Gavron, Suffragette (2015), menggambarkan dengan apik perjuangan itu. Film sejarah ini merekam perjuangan perempuan untuk hak pilih di Inggris pada awal abad 20.
Dikisahkan, Maud Watts (Carey Mulligan), seorang pekerja di perusahaan laundry, ikut terseret dalam arus gerakan suffragette, sebuah organisasi perempuan di abad ke-19 dan 20 yang memperjuangkan hak pilih perempuan.
Namun, keterlibatan Maud tidak tiba-tiba. Memang di film itu digambarkan, dia tak sengaja menyaksikan aksi para suffragette melempari sebuah toko bayi. Dan kebetulan lagi, seorang rekan kerjanya, Violet Miller (Anne-Marie Duff), adalah aktivis suffragette. Namun, pengalaman personal Maud, baik sebagai ibu rumah tangga maupun pekerja perempuan, membuatnya merasa ada keterkaitan dengan isu-isu yang diusung aktivis suffragette.
Maud adalah contoh kehidupan perempuan di bawah cekikan patriarki dan kapitalisme. Di rumah, dia adalah pelayan suami dan mengurus anaknya. Suaminya, Sonny Watts (Ben Whishaw), yang berusaha menjadi suami yang baik dan bertanggungjawab, adalah seorang patriarkal. Dia merasa berkuasa atas tubuh dan perbuatan istrinya. Sehingga, ketika istrinya makin terlibat dalam gerakan hak pilih, dia merasa berhak untuk mengusirnya keluar rumah.
Di pabrik, Maud menjadi korban dari jam kerja yang panjang, upah murah dan kondisi kerja yang buruk. Bahkan dirinya dan beberapa teman kerjanya beberapa kali mengalami serangan seksual dari majikannya. Tentu saja, kondisi semacam itu membuat perempuan seperti Maud bermimpi bisa membangun kehidupan yang lebih baik melalui hak pilih.
Singkat cerita, Maud mulai tertarik dengan gerakan hak pilih. Awalnya, dia hanya memberi testimoni soal kondisi pekerja perempuan di hadapan parlemen. Namun, lama-lama dia menjadi anggota suffragette, setelah dipenjara karena menghadiri pidato pemimpin gerakan suffragette, Emmeline Pankhurst (Meryl Streep’s).
Ada yang menarik di film ini. Pertama, film ini berusaha meruntuhkan narasi tradisional, terutama di kalangan feminis liberal, yang mengabaikan peranan perempuan kalangan bawah (kaum buruh dan kaum miskin) dalam perjuangan emansipasi. Film ini menghadirkan dua perempuan pekerja, yakni Maud dan Violet, sebagai protagonis utamanya.
Kedua, film ini berusaha menunjukkan dilema, atau tepatnya tantangan, yang dihadapi perempuan kalangan bawah ketika terlibat dalam perjuangan emansipasi. Mereka harus berhadapan dengan suami mereka, pengasingan sosial dari masyarakatnya dan ancaman kehilangan pekerjaan. Ini yang terjadi pada Maud dan Violet. Maud bahkan diusir dari rumahnya oleh suaminya. Juga dipisahkan dengan anaknya yang tercinta, George.
Ketiga, gerakan perempuan dipaksa berhadapan dengan brutalisme negara. Kita lihat, berkali-kali aksi damai perempuan dibubarkan paksa oleh polisi. Hampir semua aktivis suffragette pernah mengalami penangkapan. Di dalam penjara, untuk melawan perlakuan sewenang-wenang, mereka kerap menggelar aksi mogok makan.
Saya kira, respon negara yang terlalu keras, yang selalu mengabaikan suara protes perempuan, mendorong suffragette mengambil jalan kekerasan dalam perjuangannya: melempari toko-toko, mensabotase jaringan komunikasi, membakar rumah pejabat dan lain sebagainya.
Memang, di Inggris, salah satu tokoh penting dalam perjuangan hak pilih perempuan adalah Emmeline Pankhurst dan tiga anak perempuannya: Sylvia, Christabel dan Adela. Pada tahun 1903, Pankhrust mendirikan organisasi bernama Women’s Social and Political Union (WPSU)—beberapa kali aktivitas organisasi dan kantornya ditampilkan di film ini.
Awalnya, Pankhurst ini sangat progressif. Dia keluar dari organisasi liberal dan masuk ke Partai Buruh Independen, yang progressif dan mengorganisir kelas pekerja. Saya kira, ini yang memungkinkan WPSU membuka tangan untuk perempuan kalangan pekerja, seperti Maud dan Violet.
Yang menarik adalah kontribusi Sylvia Pankhurst. Dia yang mendorong WPSU membuka tangannya terhadap kelas pekerja. Dia juga yang bersikeras mendorong WPSU untuk menyuarakan nasib perempuan kelas bawah. Dia juga yang menentang penggunaan aksi terorisme, seperti sabotase dan pembakaran rumah, dalam perjuangan politik perempuan. Ini yang membuat dia dan ibunya berseberangan—sempat disebut dalam film Suffragette ini. Sayang, ide Sylvia ini kalah. Akhirnya, pada 1914, dia keluar dari WPSU dan mendirikan Federasi Suffragette London Timur.
Memang, seperti digambarkan di film ini, WPSU semakin mendorong anggotanya melakukan aksi militan. Dalam hal ini, Maud dan Violet berseberangan: Maud setuju aksi pembakaran rumah seorang Menteri, sedangkan Violet menentang. WPSU, terutama sang pemimpin Emmeline Pankhurst, memang mendorong aksi-aksi militan untuk membuat isu hak pilih perempuan terdengar luas.
“Jadilah militan, masing-masing dengan caramu sendiri. Jika diantara kalian ada yang bisa memecahkan kaca jendela, maka pecahkanlah. Jika diantara kalian ada yang bisa menghancurkan properti tempat sakral, lakukan saja. Kita tidak ada jalan lain selain menentang pemerintahan ini,” katanya Pankhurst di sebuah rapat umum.
Belakangan, untuk menarik perhatian Raja Inggris saat itu, seorang aktivis WPSU, Emily Wilding Davison, menempuh jalan berbahaya: berlari ke tengah arena pacuan kuda untuk menarik perhatian Raja George V. Namun, aksi itulah yang membuat Emily menemui ajalnya: ia tergilas oleh kuda sang raja.
Aksi ‘martir’ Emily itulah yang jadi klimaks sekaligus penutup film ini. Digambarkan, ribuan orang berbaris di jalanan untuk menghantarkan Emily ke tempat peristirahat terakhirnya. Aksi heroiknya juga telah menginspirasi perjuangan hak pilih perempuan di negara lain.
Perjuangan panjang itu memang pelan-pelan membuahkan hasil. Pada tahun 1918, hak pilih perempuan diakui untuk perempuan tertentu yang berusia di atas 30 tahun. Tahun 1925, hak asuh perempuan atas anaknya diakui. Dan baru tahun 1928, perempuan Inggris mendapatkan hak pilih yang sama dengan laki-laki.
Di Rusia, hak pilih perempuan diperoleh bersamaan dengan kemenangan revolusi 1917. Di AS, hak pilih perempuan baru diberikan tahun 1920—150 tahun setelah Amerika Serikat memproklamirkan kemerdekaannya. Sedangkan Perancis baru memberikan hak pilih perempuan pada 1944.
Bagaimana dengan Indonesia?
Perjuangan hak pilih perempuan sudah ada dan berjalan beriringan dengan perjuangan anti-kolonialisme.
Tahun 1918, pemerintah kolonial Belanda membentuk parlemen boneka yang disebut Volksraad (Dewan Rakyat). Di sini perempuan belum punya hak pilih. Di Belanda sendiri, perempuan baru mendapat hak pilih tahun 1919.
Tahun 1930, gerakan perempuan mulai bicara hak pilih. Pada tahun 1938, dalam Kongres Perempuan Indonesia ke-III, di Bandung, isu hak pilih bagi perempuan masuk sebagai agenda pembahasan. Pada saat itu juga, empat orang perempuan Indonesia terpilih di dewan Kotapraja: Nj Soedirman di Surabaya; Nj Soenario Mangoenpoespito di Semarang; Nj Emma Puradireja di Bandung; dan Nj Sri Umiati di Cirebon (Cora Vreede-de Stuers, 1960).
Pada tahun 1935, gerakan perempuan Indonesia mengusulkan sejumlah nama, seperti Maria Ulfah dan Nj Datu Tumenggung, untuk menempati posisi sebagai wakil di Volksraad. Namun, pemerintah kolonial mengabaikan usulan itu. Malahan menunjuk seorang perempuan Belanda untuk posisi tersebut.
Pada tahun 1939, ketika usulan serupa kembali diabaikan oleh pemerintah kolonial, sebanyak 45 organisasi perempuan melancarkan protes keras. Mereka mengeluarkan resolusi, bahwa pemerintah Belanda harus mencalonkan perempuan Indonesia sebagai Dewan Rakyat pada periode berikutnya (1941).
Keberhasilan perempuan Indonesia meraih hak pilih bersamaan dengan keberhasilan memproklamirkan Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945, mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Pada tanggal 29 Agustus 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)–badan yang punya fungsi menyerupai parlemen–dibentuk oleh pemerintah Republik yang baru berdiri. Di badan tersebut, ada 5 perempuan yang terpilih sebagai anggota. Salah satunya adalah Maria Ulfah Santoso (Harry A Poeze, 2006: 46).
Pada pemilu 1955, pemilu pertama dalam sejarah Indonesia, perempuan bukan hanya punya hak pilih dan memilih, tetapi bahkan ada partai perempuan yang turut bertarung, yakni Partai Wanita Indonesia/Partai Wanita Rakjat. Dalam pemilu itu, ada 19 perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen (DPR): 4 dari PNI, 4 dari Masyumi, 5 dari NU, 5 dari PKI, dan 1 dari PSI.
Begitulah, hak pilih perempuan direbut melalui perjuangan yang panjang dan maha-berat.
Dan, jangan lupa, perempuan Arab Saudi baru punya hak pilih pada tahun 2015 lalu. Tepatnya pada Pemilu Desember 2015. Itupun hanya 130.000 perempuan yang menggunakan hak pilihan. Dan 17 perempuan terpilih sebagai anggota Dewan di tingkat lokal.

Penulis Rini Hartonoaktivis Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
Suffragette (2015) | Durasi: 106 menit | Negara: Inggris | Sutradara: Sarah Gavron | Penulis: Abi Morgan | Pemeran: Carey Mulligan, Helena Bonham Carter, Brendan Gleeson, Anne-Marie Duff, Ben Whishaw dan Meryl Streep

               Sumber Artikel: www.berdikarionline.com


No comments: