Ilustrasi (dialektis.co)
Anda tidak sepakat dengan pendapat teman, kemudian kalian berdebat, dan perdebatan menjadi sengit. Kebetulan Anda seorang perempuan dan dia laki-laki. Kemudian, ia bilang, “Kamu lagi mens ya?”
Atau, Anda menemui kalimat lain ketika sedang kesal menunggu kedatangan teman yang sudah telat dua jam. “Kenapa kesal? Lagi PMS (premenstrual syndrome) ya?
Hei nona-nona dan nyonya-nyonya, saya yakin Anda pernah dengar kalimat itu ketika sedang marah atau memprotes sesuatu. Makin kesal gak ditanggapi begitu? Mengapa jadi makin kesal?
Protes yang Anda utarakan seolah menjadi tidak legitimate, hanya gara-gara kondisi tubuh yang sedang menstruasi. Padahal, argumentasi yang Anda sampaikan sudah sangat logis dan ilmiah banget. Tapi, tiba-tiba, lawan debat Anda cuma bilang, “Kayaknya lagi PMS nih.”
Jika Anda makin kesal, itu sangat wajar. Saya pun kesal kalau dihadapi dengan cara begitu. Bagaimana tidak, di tengah usaha memprotes atau berargumentasi membela sesuatu yang dianggap benar, tiba-tiba semua itu menjadi tidak ada apa-apanya. Sebab, Anda seorang perempuan yang punya kodrat untuk menstruasi tiap bulan dan kadang suka emosian kalau sedang datang.
Perempuan kalau sudah begitu kerap dianggap suka marah-marah, mempermasalahkan hal-hal yang menurut laki-laki sudah benar. Atau gampangnya, perempuan dianggap marah-marah tanpa dasar yang jelas, karena pemicunya berasal dari kondisi tubuh. Bukan dari kenalaran berpikir.
Dan, ke mana semua ini akan bermuara? Pendapat laki-laki selalu benar, sedangkan perempuan selalu salah atau dipersalahkan. Dalam hal ini, ada ego patriarki yang tidak mau dikalahkan, berusaha membalikkan posisi agar perempuan mempertanyakan pendapatnya sendiri, membuat perempuan ragu terhadap kewarasan logikanya.
Anggapan perempuan menjadi makhluk paling tidak logis ketika sedang PMS, sehingga memprotes apa yang dianggap benar oleh laki-laki ditanggapi sebagai keisengan belaka, tentu tidaklah benar. Perempuan memang mengalami haid setiap bulan, tetapi itu bukan berarti suka marah-marah tiap bulan.
Sebagian perempuan memang ada yang sangat sensitif menjelang ‘datang bulan’, tapi generalisasi terhadap itu bukan cara yang elok. Sama seperti tidak semua perempuan merasakan nyeri haid.
Memang dipikir perempuan surplus tenaga sampai harus marah-marah tiap bulan dalam kurun waktu puluhan tahun? Jurus apalagi ini, kalau tidak mau disebut delegitimasi ‘kemarahan’ perempuan.
Menuduh perempuan sedang PMS ketika ia mengoreksi sesuatu adalah cara paling tidak etis lagi seksis dalam mendebat. Bila tidak sepakat dengan pendapat lawan bicara yang kebetulan perempuan, daripada menuduh sedang PMS, alangkah baiknya jika yang dikoreksi adalah esensi dari masalah. Lagipula, dari mana bisa tahu kalau perempuan sedang menstruasi atau PMS?
Perkara mendelegitimasi ‘kemarahan’ perempuan juga pernah terjadi dalam sejarah, yakni pada dekade 1950-an. Saat itu, gerakan perempuan terutama Perwari, sedang gencar-gencarnya mengupayakan UU pernikahan yang adil gender.
Eh, di tengah-tengah usaha gerakan perempuan tersebut, Presiden Soekarno malah poligami dengan menikahi Hartini. Padahal, Soekarno sudah punya istri yang baru saja melahirkan, yakni Fatmawati.
Gerakan perempuan kemudian melakukan protes, karena apa yang dilakukan sang presiden dianggap mencederai semangat para perempuan yang menentang poligami dan sedang mengupayakan UU pernikahan yang adil.
Dan, Anda tahu cara mem-backlash protes ini? Para perempuan yang memprotes pernikahan Soekarno dengan Hartini dianggap iri terhadap kecantikan Hartini. Bukan oleh Soekarno, tapi para elit politik pria di sekitarnya.
Sebuah tangkisan yang tak hanya mendelegitimasi logika perempuan, tetapi juga tidak bermutu. Bagaimana perempuan bisa maju, jika pendapatnya dianggap tidak logis dan dikaitkan dengan stereotip bahwa perempuan itu sensitif, sedang PMS, suka iri dengan kecantikan perempuan lain, dan seterusnya.
Tapi saya percaya bahwa yang mendebat argumen perempuan dengan bawa-bawa stereotip itu cuma laki-laki seksis kok. Saya yakin di luar sana masih banyak mas-mas cerdas dan yang paling penting tidak seksis, yang mau menghargai pendapat perempuan.
Kalau mau mendebat perempuan pakai cara-cara yang seksi kek, pakai argumentasi yang logis, wawasan yang seluas samudera, adu teori dan pemikiran. Bukan malah seksis. Atau, jangan-jangan, Anda belum paham apa itu seksis? Jangan-jangan, saya menulis begini dikira sedang PMS
TOPIK :
· SEKSIS
· SEKSISME
· MASA PMS
No comments:
Post a Comment