“Hurmat berumur sekitar 30-an tetapi sudah terlihat lebih tua karena perjalanan hidupnya susah. Dia lahir di Iran, tetapi pada umur 12 tahun, dia terpaksa mengungsi ke Iraq. Selama 20 tahun, dia tinggal di sebuah “refugee camp” di Iraq. Dia menikah di situ dan memiliki 4 anak (3 laki-laki dan 1 perempuan). Anak terakhirnya, yang perempuan, punya penyakit serius, hydrocephalus”(Joanne McMillan)
Dikisahkan oleh Alimah Fauzan
Kesan pertama melihat penampilannya, mungkin banyak
orang yang terkecoh dalam menilai sosoknya. Karena siapa sangka, di balik
kesederhananaan dan pembawaannya yang terlihat santai, dia memiliki beragam
pengalaman yang jarang dimiliki perempuan sebayanya. Menyelami kisah hidupnya,
saya seakan dibawa pada perjalanan tak berujung. “Tangguh”. Kata itu pun,
seakan masih kurang untuk membahasakan pengalaman hidup perempuan kelahiran
Kota Brisbane Australia ini. Tapi memang benar adanya. Perjalanan hidup yang
dipilihnya, menghantarkannya menjadi sosok yang kian matang dan tangguh.
Jo yang Sederhana
Bukan perempuan biasa itu adalah Joanne Elizabeth
McMillan, seorang translator dan editor di Fahmina-Institutte. Jo, demikian
sapaan akrabnya, telah bergabung di Fahmina-Institute sejak Oktober 2007 dalam
rangka program Australian Volunteers International (AVI). Dia juga pernah
mendapat gelar Honours dari University of New England, Australia, dalam bidang
Kajian Indonesia.
Puteri dari Simon McMillan dan Jane McMillan ini, asli keturunan Skotlandia. Hal itu dapat diketahui dari “Mc” atau McMillan, yang merupakan nama Skotlandia. Joanne, diambil dari nama yang disukai orang tuanya. Elizabeth, diambil dari nama bibinya (adik dari ibunya). Sedangkan McMillan, diambil dari nama keluarga bapaknya. Seperti orang Kristen Australia lainnya, nama seorang anak selalu mengikuti nama keluarga bapak. Jo lahir di Kota Brisbane pada tahun 1979. Memasuki usianya yang kelima, dia pindah ke sebuah kota kecil laiknya sebuah desa dengan 20.000 penduduk. Kota kecil itu bernama Amidale. Di kota inilah, dia mulai mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) atau Primary School, tepatnya di Armidale City Public School.
Lain halnya di Indonesia, di Australia tidak ada sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Alhasil, Jo hanya mengenal Primary School (SD) dan High School (SMP+SMA). Setelah lulus SD, dia mendapat beasiswa untuk High School swasta Kristen. Namanya Presbyterian Ladies College (PLC). Di Australia, sekolah swasta dianggap lebih bagus dari sekolah publik atau negeri. Sehingga orang tuanya bangga sekali ketika dia mendapatkan beasiswa tersebut.
Pengalaman Menjadi PRT, Buruh Tani, dan Staf Administrasi
Biasanya setelah lulus sekolah, orang Australia langsung melanjutkan pendidikannya di sebuah universitas atau mencari pekerjaan. Tetapi Jo lebih memilih untuk pergi ke luar negeri. “Saya sudah sempat menyimpan uang dari pekerjaanku sebagai pelayan restoran Thailand. Saya juga beruntung mendapatkan warisan dari nenekku, tidak banyak sekali tetapi cukup untuk membeli tiket pesawat,” papar Jo yang mengaku keluar Australia sejak berumur 18 tahun.
Ya, tahun 1998, Jo pergi ke United States of America
(USA). Di sana, dia tinggal dengan bibinya yang sudah lama menetap di Amerika.
Dari rumah bibinya, Jo mulai menjelajah USA dan Kanada dengan menaiki bus
Greyhound. Terkadang, dia menginap di rumah kenalan tetapi untuk sebagian besar
dia tidur di sebuah hotel atau asrama untuk wistawan yang tidak berduit.
“Saat itu saya hanya sendirian, tetapi sempat bertemu
dengan banyak orang, tidak hanya dari USA tetapi dari seluruh dunia. Dari
pengalaman itu saya belajar hidup mandiri,” ujar Jo.
Awalnya, dia juga mengaku kangen pada keluarga, merasa
kesepian, dan takut karena tidak ada teman. “Karena sebelum berangkat dari
Australia, mencuci baju dan mengurus uang sendiri, pun saya masih tidak bisa.
Namun lama-lama saya merasa nyaman dan malah bangga kalau saya hanya tergantung
pada diri sendiri, tidak tergantung pada orang lain.” Setelah tiga bulan di
USA, Jo pergi ke Irlandia. Di sana, dia bekerja sebagai pekerja rumah tangga
(PRT) dan buruh kebun di sebuah pertanian milik teman bibinya.
“Teman bibiku itu bisa disebut “priayi” Irlandia.
Rumahnya besar sekali dengan lebih dari 100 kamar, dibangun pada abad ke-18. Di
depan rumah tersebut ada danau pribadi dan ada juga peninggalan dari abad
ke-14, yaitu sebuah “castle” yang sudah setengah roboh.”
Sesudah tiga bulan bulan di USA, Jo bertemu dengan
beberapa teman sekolah yang kebetulan sedang bekerja di Inggris (negara
tetangga dari Irlandia) dan jalan-jalan di negara Italia selama dua minggu.
Setelah itu, dia ditinggalkan temannya yang harus balik lagi ke Inggris. Lagi-lagi
dia pun berjalan-jalan sendiri di beberapa negara termasuk Slovenia, Mesir dan
Israel. Dari beberapa negara tersebut, Jo pergi ke Inggris (di sela ke luar
negeri) untuk mencari pekerjaan.
“Di Inggris, awalnya saya hanya bekerja sebagai
pelayan bar, tetapi karena gajinya kecil sekali, saya mencari pekerjaan sebagai
sekretaris atau staf administrasi.
Karena gaji di Inggris agak tinggi, dan karena saya
rajin menyimpan uang, maka sekitar tiga bulanan sekali saya pergi luar negeri
untuk mengunjungi negara-negara lain,” ujarnya. Pada tahun 1999, Jo kembali
mengunjungi beberapa negara seperti di Afrika timur dan selatan. Dia juga
sempat mengunjungi negara Turki, Philippines, Thailand, Mesir (lagi) dan
Jurdania. Pada tahun 2000, visanya di Inggris habis, sehingga dia berangkat ke
USA lagi dan meneruskan perjalanannya ke beberapa negara di Amerika Selatan
termasuk Peru dan Bolivia. Di sana, dia bekerja di Honduras sebagai guide
menyelam scuba (menyelam dengan bantuan oksigen).
“Dari pengalamanku di Amerika selatan, saya dapat dua
hobi baru. Yaitu belajar bahasa dan mendaki gunung. Sesudah itu, pada tahun
2001 saya pulang ke Australia dan mulai kuliah S1-ku di University of Sydney.
Saya mengambil beberapa mata kuliah termasuk matematika, sastra Inggris, bahasa
Spanyol dan bahasa Arab,” ungkap Jo yang juga sempat bekerja di beberapa
tempat, termasuk di bandara sebagai information officer dan di customer service
di sebuah telkom kecil.
Menjadi Aktifis Sosial Kemanusiaan
Pada tahun 2002, Jo diajak dua teman dekatnya yang
kebetulan sedang kuliah dan bekerja di Indonesia. Pada Agustus 2002, Jo pun
mulai mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya. Mulai dari Jakarta ke Bogor,
Bandung, Garut, Pangandaran, Yogyakarta, Gunung Bromo, Bali dan Lombok, termasuk
mendaki Gunung Rinjani. “Saya terkesan sekali dengan Indonesia dan langsung
merasa betah di sini. Karena kedua temanku itu sudah lancar ngomong bahasa
Indonesia. Saya juga sempat belajar bahasa Indonesia dan sesudah tiga bulan di
Indonesia sudah bisa berkomunikasi dengan orang pakai bahasa Indonesia,”
terangnya lancar dalam bahasa Indonesia.
Jo saat memberikan pelatihan tentang pembuatan dan pemberdayaan Website
Komunitas, bersama Jaringan Radio Komunitas (Jarik) Cirebon.
“Saya juga sempat bekerja di Bali sebagai koordinator peluncuran buku di Festival Penulis dan Pembaca Internasional Ubud pada tahun 2006. Selain itu skripsi S1 saya tentang tulisan hasil karya Oka Rusmini, salah satu penulis di Bali. Nah, setelah lulus S1 pada tahun 2007, saya baru mendapatkan pekerjaan di Fahmina-Institute.”
Sebelum bekerja di Fahmina, Jo pernah bergabung dengan beberapa lembaga sosial. Seperti di USA, dia menjadi sukarelawan di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM). LSM tersebut melakukan pendampingan terhadap perempuan muda (remaja) yang hamil di luar nikah. Perempuan muda itu biasanya hamil karena diperkosa atau dipaksa melakukan hubungan seksual oleh pacarnya, yang kemudian meninggalkannya ketika mengetahui dia hamil. Selain itu, juga membantu perempuan muda untuk melanjutkan sekolahnya, serta mengajarkan ketrampilan (skill) yang dibutuhkan untuk membesarkan anaknya dengan baik.
“Hurmat berumur sekitar 30-an tetapi sudah terlihat lebih tua karena perjalanan hidupnnya susah. Dia lahir di Iran, tetapi pada umur 12 tahun, dia terpaksa mengungsi ke Iraq. Selama 20 tahun, dia tinggal di sebuah “refugee camp” di Iraq. Dia menikah di situ dan memiliki 4 anak (3 laki-laki dan 1 perempuan). Anak terakhirnya, yang perempuan, punya penyakit serius, hydrocephalus,” papar Jo.
Mungkin karena itu, lanjut Jo, Hurmat dan keluarganya diberi visa untuk New Zealand di mana anaknya bisa dirawat di rumah sakit yang bagus.
“Karena tentu saja di refugee camp, fasilitas kesehatan sangat minim. Hurmat sendiri sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Dia juga buta huruf total dalam bahasanya sendiri, karena tidak pernah sekolah. Tetapi dia semangat sekali belajar membaca bahasa Inggris,” tukasnya.
Melihat Langsung Persoalan Perempuan Di Australia, Jo mengaku terbiasa membaca dan belajar tentang isu-isu perempuan. Tetapi di Indonesia dia melihat secara langsung masalah real yang dihadapi perempuan miskin yang hidup di budaya “patriarkhis” di negara berkembang. Di Fahmina, dia merasa baru memulai memahami betul tentang isu-isu seputar perempuan.
Seperti persoalan tenaga kerja wanita (TKW). Menurutnya, TKW sering menjadi korban karena banyak faktor. Jo memaparkan, persoalan yang menimpa perempuan tersebut tidak terlepas dari faktor pendidikan yang rendah, karena negara juga belum mampu memastikan semua orang yang akan memperoleh pendidikan. Belum lagi kesempatan untuk mendapat pekerjaan yang bagus, namun terbatas karena kondisi ekonomi negara atau daerah. Faktor lain, para perempuan itu juga tidak berani untuk menuntut haknya. Sementara budaya yang ada, juga menganggap perempuan layak mengorbankan diri untuk kepentingan keluarga. Apalagi pemerintah dan aparat hukum di Indonesia belum mampu melindungi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri.
“Ketika pertama kali melihat iklan untuk posisi translator dan editor di Fahmina, saya sangat senang karena posisi tersebut seakan didesain khusus untuk saya. Saya juga sangat menikmati bekerja di Fahmina, di sini banyak teman untuk berdiskusi. Pekerjaan di sini juga menarik dan sangat berarti,” ungkap Jo.
Jo mengakui bahwa selama ini pengalaman kerja dan pendidikannya sebelum datang ke Fahmina terkesan tidak teratur. Maksudnya, ketika orang mengambil kursus, contohnya ekonomi dan mata kuliah mereka terkait ekonomi semua, atau hukum, atau sastra atau pendidikan dan lainnya. Tetapi dia tidak mengikuti kursus yang jelas saat S1-nya. Dia belajar bahasa Arab, bahasa Indonesia, sejarah Islam, Peace Studies, Development di Asia Tenggara, kajian wanita, dan sastra Indonesia. Pekerjaannya juga beramacam-macam. Dia tidak pernah membayangkan bahwa ada pekerjaan di dunia ini yang menurutnya cocok dengan pengalamannya. Yaitu di Fahmina.
“Saya betah di Indonesia tetapi untuk menetap, saya belum bisa karena masih ada keluarga di Australia. Tetapi mudah-mudahan saya masih bisa sering kembali ke Indonesia,” ungkap Jo yang kini telah kembali ke tanah airnya, Australia.
*Tulisan ini adalah salah satu feature yang ditulis Alimah Fauzan untuk media komunitas yang diterbitkan oleh Fahmina-Institute sekitar tahun 2010. Dia juga berbagi tulisan ini di kompasiana.
No comments:
Post a Comment