Monday, November 6, 2017

Memahami Masalah Perempuan Papua dalam Budaya dan Kesehatan


https://suaratoliweb.files.wordpress.com/2017/10/5-poin-kelebihan-perempuan-papua-yang-wajib-anda-ketahui.jpg?w=863 
Kata gender banyak diperbincangkan bahkan telah masuk dalam perbendarahan kata di setiap diskusi bahkan konsep ini telah aplikasikan dalam bentuk tulisan dalam koran, poster dan buku. Apa sebenarnya pengertian gender dan mengapa gender banyak didiskusikan bahkan harus menjadi wawasan dalam kegiatan pembangunan.
Gender adalah ciri atau sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstuksional secara sosial dan kultural (Faqih Mensoer, 1996). Gender bukanlah perempuan. Gender berkaitan dengan peran apa saja yang dianggap wajar bagi laki-laki dan peran apa yang dianggap wajar bagi perempuan. Karakteristik yang dianggap khas perempuan dan laki-laki tersebut merupakan hal-hal yang telah ditanamkan melalui sosialisasi. Maka dengan adanya konstruksi sosial dan budaya maka mestinya jender dapat berubah, diubah atau dipertukarkan.
Berbeda dengan pengertian jenis kelamin (seks), yang adalah merupakan kategori perempuan atau laki-laki yang dibawa sejak lahir, sering di sebut sebagai ketentuan ilahi atau kodarat sehingga tidak dapat di pertukarkan satu dengan yang lainnya.
Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terbentuk melalui sosialisasi, diperkuat dan dikembagakan baik secara sosial, kultural, maupun ajaran keagamaan, bahkan oleh negara sehingga sering dianggap bahwa ketentuan gender tersebut tidak dapat di rubah karena diannggap sebagai ketentuan sewajarnya (T.O. Iromi) masalah perempuan dalam budaya papua.
Pembagian Peran Gender
Pagi hari, ketika matahari belum terbit, ibu-ibu sambil menggendong/menyusui anak, sibuk memasak ubi/betatas atau keladi di dapur. Ibu-ibu sibuk memberi makanan ternak (babi dan ayam) dan mengeluarkannya dari kandang. Sementara itu laki-laki masih hangat diperaduannya atau ada yang sudah bangun membuat perapian untuk menghangatkan tubuhnya sambil bercerita.
Selanjutnya, kaum ibu bersiap-siap untuk pergi ke kebun. Kala matahari condong ke Barat, ibu-ibu pulang menggendong anak dan memikul hasil kebun untuk dikomsumsi keluarga, untuk makanan babi, maupun untuk dijual ke pasar. Karena sekarang ibu-ibu juga harus mencari uang untuk membayar sekolah anak-anak ataupun membeli keperluan rumah tangga.
Lalu ke mana laki-laki di saat kaum perempuan berangkat ke kebun? Ada sebagiaan laki-laki pergi ke kota dari pedalaman, ada yang pergi ke kantor desa untuk mengurus “masalah/perkara” atau ada juga yang pergi ke kebun disaat sedang pembukaan lahan baru.
Masyarakat Papua umumnya telah menetapkan karakteristik laki-laki dan perempuan (gender) berdasarkan nilai-nilai budaya yang dianut, termasuk di dalamnya adalah peran apa yang harus dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, serta sumber daya apa saja yang dapat dijangkau dan dikontrol oleh laki-laki dan perempuan.
Pada zaman dahulu, peran tradisional laki-laki dan perempuan dikatakan cukup seimbang. Laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama beratnya. Laki-laki bertanggung jawab terhadap urusan politik (perang, membuat negosiasi dengan musuh, menggelar perdamaian), menjaga keamanan kampung, mengawal/menjaga perempuan di kebun, mengurus upacara adat, menyiapkan ladang baru, dan mencari kayu bakar, berburu, berdagang. Perempuan bertanggung jawab terhadap pencariaan makan di kebun, menyiapkan makanan bagi keluarga, mengurus ternak babi, mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah tangga serta membantu laki-laki dalam menyiapkan upacara adat.
Saat ini, setelah adanya akulturasi (kontak budaya) dengan dunia luar, peran-peran tersebut berubah. Sebagian besar peran laki-laki berkurang atau hilang, seperti urusan perang, menjaga keamanan, dengan adanya teknologi baru yang diperkenalkan. Dengan demikian saat ini laki-laki memiliki banyak waktu luang.
Dengan demikian, di satu sisi laki-laki bertangan kosong karena perannya berkurang/hilang. Di sisi lain perempuan memiliki beban kerja yang cukup berat. Laki-laki dikatakan pada kondisi yang sedang “kebingungan” untuk mengisi kekosongan perannya. Bahkan bisa dikatakan laki-laki Papua dari daerah pegunungan, saat ini sedang berada pada tahap kehilangan identitas (mempertanyakan keberadaan dirinya). Dapat dibilang bahwa pada saat ini telah terjadi ketimpangan/ketidakadilan dalam pembagiaan peran antara laki-laki dan perempuan yang berada pada posisi yang berbeban berat.
Profil Akses dan Kontrol
Pembedaan gender dalam masyarakat Papua sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki. Patriarki merupakan kekuasaan bapak (kaum lelaki) yang mendominasi, mensubordinasikan, dan mendiskriminasikan kaum perempuan. Segala bidang terpusat pada laki-laki, perempuan memiliki peran untuk mengurus pangan, ternak, anak, dan pekerjaan rumah tangga (urusan domestik). Sedangkan segala urusan publik berada di kaum lelaki. Perempuaan kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Perempuan menghasilkan hampir 80% kegiatan produktif (pertanian dan peternakan), namun kontrol terhadap hasil tersebut ada di tangan laki-laki. Kondisi ini sama, baik sebelum ada kontak dengan dunia luar maupun saat ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa kini dominasi/tekanan laki-laki terhadap perempuan lebih kuat sebagai kompensasi dari keadaan lelaki yang sedang kehilangan identitas diri.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Ketimpangan Gender
Ada dua faktor penyebab terjadinya ketimpangan gender, yakni pertama, budaya masyarakat sendiri dan kedua, kontak dengan dunia luar. Penyebab pertama, antara lain: (a) budaya patriarki, yakni segala bidang kehidupan terpusat pada kekuasaan laki-laki; (b) budaya denda, yakni segala persoalan dalam masyarakat harus diselesaikan dengan pembayaran denda uang/babi. Kaum perempuan dituntut untuk dapat menghasilkan banyak uang/babi untuk keluarga/kerabatnya; (c) sistem pembayaran mas kawin, yakni laki-laki membayar mas kawin terhadap pihak perempuan yang disertai dengan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi oleh perempuan tersebut; (c) sistem keluarga besar, yakni seorang perempuan tidak hanya milik suami atau anaknya tetapi juga kaum kerabatnya, sehingga kaum perempuan pun juga harus memberikan/memperhatikan kaum kerabatnya; (d) keterpisahan hidup perempuaan dan laki-laki, yakni dalam pemisahan tempat tidur dan kelakuan saling menghindar antara laki-laki dan perempuaan. Karena takut akan bahaya yang disebabkan oleh kaum perempuaan, laki-laki harus melindungi dirinya dengan tabu-tabu; (e) pandangan atau nilai bahwa perempuan adalah lambang kesuburan, yakni hal ini sering dimanfaatkan kaum lelaki untuk memperoleh harta lebih banyak dan kebun yang luas dan melimpah; dan (f) tabu, yakni laki-laki dianggap tidak pantas mengerjakan tugas yang selama ini dianggap sebagai tugas perempuan dan lainnya.
Penyebab kedua adalah kontak dengan budaya luar, antara lain: (a) pendekatan, yakni pendekatan dalam pengenalan religi baru yang cenderung mengganti/membuang unsur-unsur agama asli; (b) sistem politik, yakni saat ini laki-laki tidak perlu setiap saat dengan tombak/anak panah untuk perang/menjaga keamanan kampung; (c) perubahan sistem ekonomi dari tribal ke ekonomi pasar, yakni banyak produk yang ditawarkan, kebutuhan menjadi meningkat dan kaum perempuan harus bekerja lebih keras lagi untuk bersaing dalam sistem ekonomi ini untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya; dan (d) teknologi baru, yakni adanya teknologi yang diperkenalkan, yang cenderung menolak laki-laki.
Masalah Kesehatan Perempuan Papua
Perempuan Papua bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan produktif, reproduktif dan mendukung suami dalam peran-peran sosial. Peran produktif yang harus dilakukan memahami hampir seluruh waktunya setiap hari. Karena situasi tersebut masyarakat Papua (pegunungan/pedalaman) memiliki pola makan dengan frekuensi hanya 2 kali sehari saja, kerena ibu sebagai penyedia makanan sepanjang hari berada di kebun.
Di samping itu diskriminasi/pembedaan gender yang ada menyebabkan terjadinya pola distribusi makanan yang tidak seimbang di mana perempuan selau mendapat jatah makanan yang sedikit dibandingkan laki-laki, sekalipun perempuan harus mengeluarkan energi yang banyak untuk bekerja. Sebagian besar perempuan dan anak-anak mengalami kekurangan gizi kronis.
Penyakit Menular Seksual (PMS)
PMS ditemukan semakin meningkat. Kira-kira 80% mengidap jenis penyakit kelamin seperti syphilis, gonorrhoe, klamida dan lainnya.  Beberapa informasi dari lapangan juga ditemukan bahwa sebenarnya banyak orang yang menderita penyakit tersebut namun banyak di antara mereka yang tidak mau berobat di rumah sakit/puskesmas, melainkan datang secara pribadi ke petugas yang dikenal atau membeli obat sehingga tidak tercatat secara resmi.
Dampak Program KB
Ada kegelisahan masyarakat Papua berkaitan dengan alat kontrasepsi. Perempuan belum memahami bahwa program KB ini lebih mengarah pada upaya kesejahteraan masyarakat. Masyarakat terlanjur mamahami bahwa program KB sama dengan pembatasan jumlah anak, padalah berkaitan dengan kasus di atas, masyarakat sedang berpikir bagaimana cara meningkatkan kesuburan. Oleh sebab itu dewasa ini ditemuakn beberapa kasus perpecahan rumah tangga yang disebabkan oleh karena istri ikut program KB tanpa sepengetahuan suami. Atau, karena kecewa setelah 3 tahun ikut KB tetapi selanjutnya tidak bisa mendapat keturunan, padahal perempuan itu masih dalam usia produktif.
Masalah Aborsi
Di Papua setiap tahun terjadi sekitar 11.000 tindakan aborsi/tindakan pembunuhan terhadap janin. Dari jumlah itu, 5.000 dilakukan paramedis, 2.000 oleh dukun, aborsi ala spontan 1.000 kasus dan aborsi dengan bantuan obat-obatan 3.000 kasus. Dari 11.000 kasus aborsi 56% sekitar 6.160 kasus dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa (baca tabloid Suara Perempuan edisi No. 4 Tahun I 13-26 September 2005).
Kekerasan Laki-laki Terhadap Perempuan
Kasus kekerasan terhadap istri masih banyak terjadi bahkan semakin meningkat. Adat seharusnya telah mengatur perlindungan herhadap perempuan dengan diberlakukannya denda bila terjadi seseorang mengeluarkan dara akibat pukulan. Namun perlindungan adat itu sudah tidak mempan lagi untuk kasus kekerasan suami terhadap istri.
Menemukan Masa Remaja Selah Berkeluarga
Kasus perkawinan pada usia muda yang kini masih terjadi, telah menimbulkan berbagai masalah dalam keluarga. Pertumbuhan anak perempuan meloncat dari anak-anak ke dunia rumah tangga, sehingga mereka akan menemukan masa remajanya di kala sudah berkeluarga. Banyak di antara mereka yang menyadari bahwa mereka memiliki pasangan yang tidak cocok (karena pilihan orang tua atau pilihan sendiri) di kemudia hari. Hal ini menimbulkan persoalan perpecahan keluarga seperti perceraian, perempuan tersebut akan lari dengan laki-laki lain atau sebaliknya.
Industri Seks Tersembunyi
Trend seks tersembunyi alias terselubung semakin berkembang di Nabire dan Papua pada umumnya. Yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak perempuan hingga remaja putri, baik siswa sekolah maupun tidak. Banyak ditemukan bahwa di antara mereka sebagian besar adalah masyarakat yang migrasi dari desa ke kota, baik untuk keperluan melanjutkan sekolah ataupun untuk bekerja. Kegiatan seks komersial secara tersembunyi tersebut juga ditemukan telah mulai menyebar di beberapa daerah pedalaman yang telah dijamah oleh industri-industri perkayuan, gaharu, proyek-proyek jalan trans, daerah pendulangan emas dan lain-lain. Hal ini merupakan salah satu dampak negatif proses pembangunan yang mau tidak mau pasti terjadi. Persoalannya adalah bagaimana mengantisipasinya.
Seks Bebas dan Kekerasan Seksual
Pesta dansa (kewa) yang semakin digemari anak-anak muda, menjadi pemicu bagi kegiatan seks yang menjadi sarana penularan PMS (penyakit menular seksual). Bahkan acara tersebut acapkali digunakan sebagai transaksi seksual.
Akhir-akhir ini juga banyak ditemukan kasus kekerasan seksual (kegiatan seks tanpa persetujuan/pemerkosaan) terhadap perempuan yang dilakukan oleh pemuda yang sedang mabuk.
Akses Perempuan Terhadap Kesehatan
Perempuan mempunyai kesehatan reproduksi yang khusus dan unik kerena perempuan lebih rentan terhadap kondisi-kondisi tertentu. Ada penyakit yang lebih sulit dideteksi untuk perempuan. Kesehatan perempuan mempunyai dampak lansung terhadap kesehatan dan keberlangsungan anak, namun kesehatan perempuan sering terabaikan dan kurang memiliki akses ke pelayanan kesehatan sebab kesehariannya menanggung beban kerja yang berat.
Kesimpulan
Persoalan diskriminasi, subordinasi, dominasi dan apapun namanya dari lelaki terhadap perempuan ini menanggung beban yang berat sebelah ketika itu bila kita menimbang. Ketidakadilan sosial inilah yang harus diperangi dan diubah. Perubahan itu tidak bisa datang dari kamu laki-laki. Ketidakadilan sosial dapat dibongkar secara sungguh-sungguh oleh pihak perempuan sendiri, sebab pihak yang diuntungkan (kaum lelaki) tentu tidak akan berminat mengurangi dominasinya yang terus didapatkan bahkan sedapat mungkin dilipatgandakan.Emansipasi perempuan Papua harus bangkit melawan semua ketidakadilan gender.

Oleh: Alm. Imanuel Goubo Goo Penulis selama masih hidup adalah Koresponden Tablid Suara Perempuan Papua sekaligus koresponden, Selangkah Wilayah Nabire.


No comments: