Oleh: CD Lani Women Papua -- sebagai wilayah paling
timur yang sangat jauh dari Jakarta, di mana kebijakan-kebijakan tentang
Indonesia dibuat -- menjadi daerah yang terisolasi dari segala kemajuan
komunikasi. Hal lain, masyarakat Papua hidup dengan budaya mereka yang sangat
berbeda dengan masyarakat di daerah Indonesia yang lainnya. Oleh karena faktor
seperti ini, banyak hal kemudian tak terungkap - atau tak didengarkan.
Perempuan Papua (Foto.Ist)
Dalam kata-kata Beatrix Koibur Rumbino -- salah satu di antara dua perempuan yang menjadi anggota Presidium Dewan Papua -- perempuan di daerah lain kemudian tak dapat menyuarakan suara mereka. Pelanggaran hak asasi manusia perempuan Papua, menjadi catatan khusus juga karena beberapa hal. Kekerasan terhadap perempuan terutama dialami oleh perempuan Papua karena adanya kekerasan politik yang disebabkan oleh tuntutan kemerdekaan dan tanggapan keras terhadapnya. Hal kedua, yang membedakannya dengan daerah lain, perempuan Papua mengalami kekerasan domestik karena adanya perubahan sosial ekonomi. Perubahan ini telah menimbulkan pergesekan budaya yang kemudian menjadi pemicu terjadinya kekerasan perempuan di Papua. Menurut pekerja hak asasi manusia Galuh Wandita, kekerasan dalam situasi konflik antara lain disebabkan oleh pembedaan jender dalam peran laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki ditempatkan sebagai "prajurit, dan perempuan yang merawat keluarga. Perempuan di sini kemudian menjadi amat rentan tehadap apa yang disebut sebagai proxy violence, kekerasan yang dilakukan karena sasaran utama tidak ada. Hal lainnya diuraikan oleh Anne Feith -- seorang peneliti dari Queensland University -- bahwa dalam situasi konflik atau perang, kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah cara yang umum dipakai untuk mempermalukan dan menteror penduduk sipil yang dianggap sebagai musuh. Perkosaan misalnya, menjadi alat untuk mengintimidasi dan juga meruntuhkan moral musuh. Hal terakhir terjadi ketika perempuan dilihat sebagai milik laki-laki dan merupakan simbol kehormatan laki-laki. Oleh karena itu Konvensi Jenewa yang menjadi "peraturan perang" internasional secara tegas mengatakan bahwa dalam situasi konflik pun penghormatan perempuan harus dilindungi. Perempuan di Papua seperti di dua daerah operasi militer lain, Aceh dan Timor Timur kemudian mengalami penyiksaan, perkosaan atau bahkan menjadi perempuan simpanan personel militer, seperti dikemukakan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan ketika dia berkunjung ke Indonesia pada 1998. Perkosaan antara lain pernah dialami oleh penduduk Jilla sekitar tahun 1987-1988, dalam operasi pengejaran tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kelli Kwalik oleh ABRI (TNI). Sepuluh orang tercatat diperkosa di bawah ancaman senjata.
Perempuan Papua (Foto.Ist)
Perkosaan telah
menyebabkan sebagian korban mengandung dan melahirkan bayi. Perkosaan juga
dialami oleh perempuan di daerah-daerah Mapnduman, Nggeselema Bela, Alama, Jila
dan sekitarnya pada sekitar tahun 1996-1998 yang dilakukan oleh beberapa orang
tentara. Investigasi lapangan yang dilakukan Gereja Kemah Injil Indonesia
Wilayah Irian Jaya, Gereja Kristen Injili di Irian Jaya dan Keuskupan Jayapura
mencatat beberapa beberapa perkosaan terjadi. Pekerja hak asasi manusia di
Papua, John Rumbiak, menegaskan bahwa 13 kasus perkosaan tercatat pada
peristiwa ini, termasuk seorang anak yang berumur 3 tahun.
Perempuan Papua Roberta Muyapa (Foto.Ist)
Penyebab lain dari
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi adalah perubahan sosial ekonomi.
Kebijakan nasional pembangunan ekonomi yang sentralistis tak menyisakan ruang
bagi masyarakat untuk menyuarakan apa yang mereka inginkan. Pembangunan fisik
Papua yang sangat cepat tidak bisa diikuti oleh masyarakat Papua, sehingga
mereka tertinggal menjadi penonton di pinggiran. Hal ini ditambah dengan
transmigrasi, yang membuat penduduk lokal makin teralienasi karena kalah
bersaing. Perubahan ini lantas mengacaukan pembagian peran jender yang berlaku.
Laki- laki kehilangan fungsi tadisional mereka sebagai laki-laki. Namun di sisi
lain, mereka gagap untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Istri kemudian
menjadi pelampiasan rasa frustrasi mereka yang diwujudkan dalam bentuk
kekerasan domestik. Kedadaan diperburuk dengan konsumsi alkohol yang meningkat.
Perempuan Papua (Foto.Ist)
Dampak lainnya dari
perubahan sosial ekonomi adalah munculnya pelacuran di wilayah urban. Perempuan
Papua mengikuti jejak perempuan pendatang menjadi pelacur, tapi dengan tarif
yang relatif murah. Tarif murah ini menjadikan mereka sasaran para penganggur, yang
mengakibatkan penyebaran penyakit menular termasuk HIV/AIDS. Perlindungan
terhadap perempuan Papua menjadi sulit karena tempat operasi dan rumah mereka
sulit ditemukan. Namun, Beatrix tetap optimis, bahwa masih akan banyak
kesempatan bagi perempuan Papua di berbagai bidang, bila kemerdekaan
sesungguhnya telah tercapai. Fakta HAM No. 25, Tahun 1, 2001.
No comments:
Post a Comment