Wednesday, April 4, 2018

Nancy Wompere, Dari Nonton TVRI Akhirnya Ke Amerika

Jayapura – Di masa kecil, sering nonton acara pelajaran Bahasa Inggris di televisi. Akhirnya menyukai bahasa pergaulan dunia itu. Bahkan kesukaan inilah mengantarnya ke Amerika dan menjadi dosen
.
Nancy Wompere (Jubi/Levi)

Panas matahari Jumat, 14 April 2013 siang itu, sudah mulai terasa menyengat di kulit. Waktu telah menunjukkan pukul 09.30 WIT. Tapi pesan pendek itu, baru saja masuk: “Kita jadi ketemu di Prima Garden, kalau bisa jam 11. 00 WIT.” Tulis pesan pendek Ruth Naomi Nancy Wompere, yang masuk ke handphone memastikan dirinya bisa ditemui untuk wawancara.
Berbekal pesan pendek itu, akhirnya tepat pukul 11.00 WIT, wawancara dilakukan di Café Prima Garden, Abepura. Saat pertama jumpa, wajah Nancy-begitu dia sering disapa- terlihat berseri. Perempuan lajang ini hanya berkata singkat. “Oh, iya, silahkan, terima kasih,” jawabnya dengan senyum sumringah, saat dijelaskan maksud tujuan pertemuan dan wawancara ini dilakukan.
Tanpa basa-basi yang panjang, Nancy yang kini berusia 31 tahun ini mulai mengisahkan pengalamannya. Gadis asal Biak ini, mulai bercerita. Dari sejak masih usia sekolah, kuliah, menjadi asisten dosen, hingga dosen di Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura. Bahkan termasuk saat dia mendapat beasiswa meraih gelar strata duanya di Amerika Serikat. Dalam tiap kisahnya, ada banyak nada syukur dan bangga keluar dari bibirnya.
“Nama lengkap saya Ruth Naomi Nency Wompere asal Biak. Tapi besar dan lahir di Kota Jayapura, tepatnya 23 April 1982 lalu,” kata Nancy, yang kini seorang dosen Bahasa Inggris di Uncen. Padahal dari pengakuannya, awalnya dia tak terlalu suka dan tertarik dengan Bahasa Inggris. Tapi, mungkin karena kebiasaan waktu kecil bersama sang ayah, Daan Wompere, tiap hari menonton siaran langsung pelajaran Bahasa Inggris di TVRI. Maka ak­hirnya, Nancy mulai menyukai bahasa pergaulan dunia itu.
“Walau tak begitu mengerti, tapi saya terus nonton. Jadi terbiasa. Sehingga setiap kata Bahasa Inggris yang saya sebutkan, selalu benar. Bahkan guru saya di TK tanya, belajar Bahasa Inggris dimana. Setelah masuk SD dan SMP, saya ikut kursus Bahasa Inggris. Ini untuk memperdalam,” jelas anak pertama dari tiga bersaudara dari ibu bernama Katarina Hababuk, yang masa TK dan SD di Kalam Kudus Jayapura.
Kembali ke Cita-cita
Tapi niat kuat untuk bisa berbahasa Inggris dan menyukai Bahasa Inggris masih terus melekat dalam diri Nancy. Padahal sebelumnya, saat masih di SD sempat bercita-cita jadi Misionaris. Terus saat duduk dibangku SMP hingga SMA, keinginan itu berubah, malah saat itu dia ingin menjadi seorang Pramugari. Bahkan saat lulus dari SMA, dia sempat melamar jadi Pramugari di Garuda. Tapi postur tinggi badan tak sesuai persyaratan, akhirnya dia tak diterima.
Setelah semua cita-cita itu pupus, Nancy kembali melirik bakat lamanya, yakni menggeluti dan mencintai Bahasa Inggris. Namun tak terpikir untuk menjadi dosen atau bisa mengajarkan Bahasa Inggris kepada orang lain. Saat masuk Uncen, pilihan pertamanya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Program Studi Bahasa Inggris.
Dari pilihan itulah, akhirnya dia mewujudkan keinginannya sebagai penyuka Bahasa Inggris. “Tapi saat itu tak ingin jadi seoarang guru atau tenaga pengajar, cuma ingin belajar bahasanya saja. Tapi saat di semester III, saya ditawari teman mengajar Bahasa Inggris di tempat kursus Bahasa Inggris milik Wahana Cita di Kota Jayapura. Kemudian pihak Uncen melalui Unit Pela­yanan Teknis (UPT) Bahasa Inggris juga meminta saya mengajar pada kursus Bahasa Inggris,” katanya.
Meski mengajar sambil kuliah, perempuan yang masih belum berkeinginan berkeluarga ini terus berupaya hingga menyelesaikan kuliahnya. Sehingga saat tahun 2007, dia diwisuda dengan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris. Tapi semenjak menempuh pendidikan di Uncen, biayanya sudah tak ditanggung lagi oleh orang tuanya. Tapi Nancy telah mendapat beasiswa sejak semester satu hingga semester akhir.
Setelah lulus kuliah, salah satu dosennya, Romi Rambe, waktu itu menjabat Koordinator Mata Kuliah Umum memintanya menjadi Asisten Dosen mengajar mata kuliah umum Bahasa Inggris untuk mahasiswa teknik Uncen. Tawaran itu diterima dan dijalani. Buntutnya, di tahun 2008 ada penawaran beasiswa Prestasi USAID dari Amerika. “Saya ikut mendaftar dan lolos,” katanya.
Ke Amerika
Saat di Amerika, Nancy tak terlalu banyak mengalami kendala. Dia mengaku bisa mengikuti pelajaran di salah satu universitas Kristen di Oregon di Portman, Amerika,  karena sewaktu kecil terbiasa nonton acara pelajaran Bahasa Inggris bersama ayahnya. “Saya ambil pendidikan pengajaran Bahasa Inggris atau disebut Teaching English and Second Language,” ujarnya.
Menurut Nancy, program pendidikannya di Amerika bisa diselesaikan lebih cepat dari waktu yang disediakan. Sewaktu mengambil program itu, mata kuliah yang diambil lebih banyak, sehingga lebih cepat selesai.
Sewaktu di Amerika, kata Nancy, dirinya sudah menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.  Tahun 2010 saat masih di Amerika, sudah ada pengusulan dari Uncen untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil. Pengurusan admi­nistrasi hingga Surat Keputusan PNS dikeluarkan diurus rekan-rekannya di Uncen. Bahkan dia sempat balik ke Jayapura mengikuti prajabatan sebagai PNS.
Setelah selesai menyelesaikan pendidikan di Ame rika, Nancy balik ke Jayapura di tahun 2011. “Saat pulang dari Amerika, saya langsung mengajar sebagai dosen di Uncen. Sebelumnya, mengajar mata kuliah umum, tapi ketika balik dari Amerika, sudah bisa mengajar di Program Studi Bahasa Inggris hingga sekarang,” katanya.
Pengalaman Mengajar
Nancy Wompere saat mengajar (Jubi/Levi)
Saat mengajar, Nancy mengaku santai dan tak terlalu pusing dengan mahasiswa atau anak didiknya yang ribut. Yang terpenting bagi dia, orang itu bisa mengikuti aturan yang dia terapkan. “Dalam ruangan biasanya ada yang bermain saat proses belajar mengajar berlangsung. Itu tak masalah. Perlu kesabaran. Tapi yang sangat berat bagi saya, ketika ada pertanyaan dari mahasiswa yang tak bisa dijawab. Di sinilah sebagai seorang dosen sangat dituntut untuk kreatif lagi,” katanya.
Kendala lain yang dihadapi, kata Nancy, adalah jumlah mahasiswa yang pintar sekali dan sudah tahu banyak seimbang dengan yang masih kurang sekali. “Hal ini juga menjadi kendala bagi Uncen ketika menerima mahasiswa. Dosen yang akan mengajar bingung karena dicampur semuanya. Ini yang berat. Kelas yang berasal dari latar belakang yang berbeda,” katanya.
Nancy mengaku, kini dia dipercaya mengajar mahasiswa semester II dengan mata kuliah seperti, Liste­ning, Speaking, Writing dan Reading. Sedangkan untuk mahasiswa semester VI, mengajar TOEFL. “Mahasiswa di semester II yang cukup bandel saat mengikut jam pelajaran. Bahkan ada satu mahasiswa yang sangat bandel, tapi pada dasarnya dia pintar, sebab memang sebelumnya pernah sekolah di Australia. Saya tak melihat itu sebagai ancaman,” katanya.
Kendala lain, kata Nancy, ada mahasiswa yang jarang masuk kuliah, bahkan absensinya tak memenuhi 70 persen untuk ujian, tapi ngotot mau ikut ujian. Hal ini yang selalu jadi masalah setiap dosen yang lainnya. “Biasanya, kebanyakan anak-anak Papua. Diduga, tindakan itu terjadi dipengaruhi banyak factor, mungkin karena masalah keluarga atau pribadi sehingga, sering tak muncul,” katanya.
Keinginan buat club
Nancy ingin mengembangkan dan membagi ilmunya ke orang lain. Tapi keinginan itu belum tercapai, akibat waktunya selalu full time untuk mengajar, baik sebagai dosen di Uncen, maupun instruktur kursus Bahasa Inggris di UPT Bahasa Inggris Uncen. “Saya ingin membuat English Club dari Uncen yang kerja sama dengan pihak lain. Ini nantinya bisa juga bermitra dengan SD,” terangnya.
Keinginan mendirikan English Club ini, terinspirasi dari pengalamannya saat di Amerika. “Di sana, mahasiswa perguruan tinggi, sukarela datang ke sekolah-sekolah untuk mengajar di luar jam pelajaran. Jadi saya berpikir seperti itu. Kurikulum SD kan meniadakan Bahasa Inggris tergantung dari sekolahnya. Jadi melihat hal itu, kita bisa masuk kesana,” ungkapnya.
Menurut Nancy, para mahasiswa semester akhir di Uncen, biasa menjadi tenaga volentir. Mereka bisa memakai ilmunya ke masyarakat. Masuk ke sekolah-sekolah, lalu tawarkan untuk mengajar meskipun tak ada dalam kurikulum. Anak-anak bisa belajar Bahasa Inggris dari usia muda.
“Sekolah tak kasih Bahasa Inggris, tapi Uncen menawarkan lebih ke volentir mahasiswa yang mengumpulkan biaya untuk beli snack atau apa, untuk mereka. Yang penting anak-anak SD bisa mendapat pelajaran Bahasa Inggris. Saya akan melobi keinginan itu ke Ketua Program Studi di tahun ajaran baru, setelah penerimaan mahasiswa baru,” tandasnya. (Jubi/Musa Abubar/Levi)

Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Jubi Edisi II, 2013

No comments: