Kalau kita berbicara masalah tanah papua, banyak
pertanyaan-pertanyaan yang muncul coba mengamati pertanyaan ini, Mengapa rakyat
Papua Barat ingin merdeka di luar Indonesia? Mengapa rakyat Papua Barat masih
tetap meneruskan perjuangan mereka? Kapan mereka mau berhenti berjuang?
Ada empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua
Barat untuk memiliki negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar
penjajahan manapun, yaitu:
1) Latar Belakang Sejarah
2) HAK
3) Budaya
4) Realitas Sekarang
Latar belakang Sejarah
Kecuali Indonesia dan Papua Barat sama-sama merupakan
bagian penjajahan Belanda, kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis
paralel maupun hubungan politik sepanjang perkembangan sejarah. adalah sebagai
berikut:
Sebelum adanya penjajahan asing, setiap suku, yang
telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh
kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku
dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku
diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan
tradisional di beberapa daerah, di mana, sebagai contoh, seorang Ondofolo masih
memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh
masyarakat sekitar Yotefa di Numbai. Dari dalam tingkat pemerintahan
tradisional di Papua Barat tidak terdapat garis politik vertikal dengan
kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika itu.
Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda
dengan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Misalnya,
gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an aktif
menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis komando dengan
gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di bawah pimpinan Stefanus
Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir berdasarkan kesadaran pribadi bangsa
Melanesia untuk memerdekakan diri di luar penjajahan asing.
Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama
dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh
Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua Barat, secara politik
praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).
Batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari »Aceh sampai Ambon«, bukan dari
»Sabang sampai Merauke«. Mohammed Hatta (almarhum), wakil presiden pertama RI
dan lain-lainnya justru menentang dimasukkannya Papua Barat ke dalam Indonesia
(lihat Karkara lampiran I, pokok Hindia Belanda oleh Ottis Simopiaref).
Pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus – 2 November
1949) di kota Den Haag (Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah
Belanda dan Indonesia bahwa Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara
Republik Indonesia Serikat (RIS). Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh
kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran II pada Karkara oleh Ottis
Simopiaref).
Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di
bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera national
»Kejora«, »Hai Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan dan nama negara »Papua
Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh New Guinea
Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April 1961
secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah
Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh seluruh
rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat
merupakan daerah perwalian PBB di bawahUnited Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan
daerah perselisihan internasional (international dispute region). Kedua aspek
ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik internasional dan
sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah Indonesia bahwa
kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.
Pernah diadakan plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di
Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa
negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat)
karena hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya masalah
Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai sejarah
Papua Barat di dunia politik internasional. Ketidaksetujuan beberapa anggota
PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan motivasi untuk
menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan itu sungguh
melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri. (Silahkan lihat lebih lanjut pokok
tentang Pepera dalam Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka,
sejak awal telah menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak menjadi
bagian dari RI. Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada
konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa
rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery
Society). Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun
1960-an, menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat
ke dalam Indonesia (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).
Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri,
Raja Ati Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische
Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari
PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.)
dari Batalyon Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.),
Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.),
Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara
masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda
memprotes adanya penjajahan asing di Papua Barat.
Hak
Kemerdekaan adalah “Hak” berdasarkan Deklarasi
Universal HAM (Universal Declaration on Human Rights) yang menjamin
hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana hak penentuan nasib
sendiri (the right to self-determination) ditetapkan. “All peoples have the
right of self-determination. By virtue of that right they freely determine
their political status and freely pursue their economic, social and cultural
development – Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas
dasar mana mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan
pembangunan ekonomi dan budaya mereka” (International Covenant on Civil
and Political Rights, Article 1). Nation is used in the meaning of People
(Roethof 1951:2) and can be distinguished from the concept State – Bangsa
digunakan dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep
Negara (Riop Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup
beberapa bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat (A state can include several
nations, meaning Nationalities or Peoples).
Ada dua jenis the right to
self-determination (hak penentuan nasib sendiri), yaitu external
right to self-determination dan internal right to
self-determination. External right to self-determination yaitu hak
penentuan nasib sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu negara yang
telah ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki negara Papua
Barat di luar negara Indonesia. External right to self-determination, or
rather self-determination of nationalities, is the right of every nation to build
its own state or decide whether or not it will join another state, partly or
wholly (Roethof 1951:46) – Hak external penentuan nasib sendiri, atau
lebih baiknya penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak dari
setiap bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan apakah bergabung
atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1).
Jadi, rakyat Papua Barat dapat juga memutuskan untuk berintegrasi ke dalam
negara tetangga Papua New Guinea. Perkembangan di Irlandia Utara dan Irlandia
menunjukkan gejala yang sama. Internal right to self-determination yaitu hak
penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk memiliki daerah
kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada. Suatu kelompok etnis atau
suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan sendiri, di dalam batas negara
yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan budaya yang dimilikinya. Di Indonesia
dikenal Daerah Istimewa Jogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah
daerah-daerah semacam ini biasanya dilimpahi kekuasaan otonomi ataupun
kekuasaan federal. Sayangnya, Jogyakarta dan Aceh belum pernah menikmati
otonomi yang adalah haknya.
Menurut (Jack Donnely), hak asasi manusia adalah
hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia
memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan
hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai
manusia. Sementara (Meriam Budiardjo), berpendapat bahwa hak asasi
manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya
bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa
beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama,
kelamin dan karena itu bersifat universal.
Hak asasi manusia juga terdapat banyak makna yakni;
Hak hidup, Hak Bersuara/berbicara, dan berhak untuk Menentukan Nasib Sendiri,
sebagai sebuah Negara. Bahwa sesunggunya Kemerdekaan adalah Hak segala Bangsa
di atur dalam Undang-undang dasar 1945 dan Undang-undang Internbasional.
Negara punya tugas dan tanggung jawab adalah menjaga
dan melindungi Rakyatnya pasal 30 UUD 1945. Pasal 30 UUD 1945 terdiri dari 5
ayat Salah satunya “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”, tetapi Aparat keamanan
dalam hal (Tni-Polri) melakukan Proyek Berdarah di Tanah
Papua. Kenyataannya Hukum Negara (Indonesia) bisa di bayar dengan Rupiah “Uang”.
Negara piara Pelanggaran hak Asasi Manusia (HAM)
Papua, berawal pasca aneksasi Papua ke dalam Indonesia Sejak 1961. Proses
pengintegrasian Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui cara-cara yang tidak
beradab (tidak Manusiawi). Pemaksaan dengan kekerasan Kekuatan militer
menjadi pilihan waktu itu, hingga sampai saat ini Praktek Kekejaman Militer
(Tni-Polri) masih berlanjut.
Bukti Kekerasam Militer terhadap rakyat Papua adalah
benar-benar murni pelanggaran Ham Terbesar dunia, Karena Papua memiliki “Gudang
Pelanggaran Ham” mulai sejak tahun 1961-2012 satu kasus pun tidak Pernah
selesaikan secara murni Hukum dan Undang-undang Negara Indonesia, yang adil,
Jujur, benar dan Teratur. Tapi kenyataannya tidak terlaksana dengan baik.
Kekerasan dan tindakan pelanggaran HAM ini, lanjutnya, dianggap telah menyakiti
hati rakyat Papua sebagai Manusia Ciptaan MAhakuasa.
Karena hanya demi vestasi asing aparat TNI/Polri dengan kejam membunuh rakyat Papua. Hal ini juga semakin membuktikan bahwa watak rezim SBY-Boediono merupakan anti demokrasi dan anti terhadap HAM. Cerita tentang korban kekerasan aparat keamanan terhadap warga sipil di negara ini cukup banyak. Bahkan tak terhitung jumlahnya dan tak terdata dengan baik.
Selain itu, akibat dari dwifunsi itu melahirkan penderitaan
dan kesengsaraan bagi rakyat. Kita kenal banyak orang mati dibantai dalam
peristiwa G30-S/PKI, Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Maluku Pencaplokan
Timor-Timur dan Papua Barat. Banyak orang telah menjadi korban
penculikan, penyiksaan, penghilangan paksa, pemenjaraan, dan juga
perempuan-perempuan menjadi korban perkosaan. Para petani digusur tanahnya dan
mereka mengalami ancaman teror dan intimidasi oleh aparat keamanan.
Budaya
Rakyat Papua Barat, merupakan bagian dari rumpun
bangsa atau ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia.
Rakyat Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami
kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons,
Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut
antropologi, juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan ras Melayu terdiri
dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain.
Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya
menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan nasionalisme
superior ala Adolf Hitler (diktator Jerman pada Perang Dunia II).
Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aria (bangsa Germanika) merupakan manusia super yang lebih tinggi derajat dan kemampuan berpikirnya daripada manusia asal ras lain. Rakyat Papua Barat sebagai bagian dari bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof sebagaimana terdapat pada ad 1 di atas.
Realitas Sekarang
Rakyat Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai
bangsa yang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran
tersebut tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua Barat
memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain.
Di samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme Indonesia. Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk tentang sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas, sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan) menulis. Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada tahun 1984 terjadi exodus besar-besaran ke negara
tetangga Papua New Guinea dan empat pemuda Papua yaitu Jopie Roemajauw, Ottis
Simopiaref, Loth Sarakan (alm.) dan John Rumbiak (alm.) memasuki kedutaan besar
Belanda di Jakarta untuk meminta suaka politik. Permintaan suaka politik ke
kedubes Belanda merupakan yang pertama di dalam sejarah Papua Barat. Gerakan
yang dimotori Kelompok Musik-Tari Tradisional, Mambesak (bahasa Biak untuk
Cendrawasih) di bawah pimpinan Arnold Ap (alm.) merupakan manifestasi politik
anti penjajahan yang dikategorikan terbesar sejak tahun 1969. Kebanyakan
anggota Mambesak mengungsi dan berdomisili di Papua New Guinea sedangkan
sebagian kecil masih berada dan aktif di Papua Barat.
Dr. Thomas Wainggai (alm.) memimpin aksi damai besar
pada tanggal 14 Desember 1988 dengan memproklamirkan kemerdekaan negara
Melanesia Barat (Papua Barat). Setahun kemudian pada tanggal yang sama diadakan
lagi aksi damai di Numbai (nama pribumi untuk Jayapura) untuk memperingati 14
Desember. Dr. Thom Wainggai dijatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun, namun
beliau kemudian meninggal secara misterius di penjara Cipinang. Papua Barat
dilanda berbagai protes besar-besaran selama tahun 1996. Tembagapura bergelora
bagaikan air mendidih selama tiga hari (11-13 Maret). Numbai terbakar tanggal
18 Maret menyusul tibanya mayat Thom Wainggai. Nabire dijungkir-balik selama 2
hari (2-3 Juli). Salah satu dari aksi damai terbesar terjadi awal Juli 1998 di
Biak, Numbai, Sorong dan Wamena, kemudian di Manokwari. Salah satu pemimpin
dari gerakan bulan Juli 1998 adalah Drs. Phillip Karma. Drs. P. Karma bersama
beberapa temannya sedang ditahan di penjara Samofa, Biak sambil menjalani
proses pengadilan. Gerakan Juli 1998 merupakan yang terbesar karena mencakup
daerah luas yang serentak bergerak dan memiliki jumlah massa yang besar.
Gerakan Juli 1998 terorganisir dengan baik dibanding gerakan-gerakan sebelumnya. Di samping itu, Gerakan Juli 1998 dapat menarik perhatian dunia melalui media massa sehingga beberapa kedutaan asing di Jakarta menyampaikan peringatan kepada ABRI agar menghentikan kebrutalan mereka di Papua Barat. Berkat Gerakan Juli 1998 Papua Barat telah menjadi issue yang populer di Indonesia dewasa ini.
Di samping sukses yang telah dicapai terdapat duka yang paling dalam bahwa menurut laporan dari PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka telah ditemukan terdampar di Biak. Menurut laporan tersebut, banyak wanita yang diperkosa sebelum mereka ditembak mati. Realitas penuh dengan represi, darah, pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan, namun perjuangan tetap akan dilanjutkan. Rakyat Papua Barat menyadari dan mengenali realitas mereka sendiri. Mereka telah mencicipi betapa pahitnya realitias itu. Mereka hidup di dalam dan dengan suatu dunia yang penuh dengan ketidakadilan, namun kata-kata Martin Luther King masih disenandungkan di mana-mana bahwa »We shall overcome someday!« (Kita akan menang suatu ketika!).
Masa depan : Tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat
sebagai subjek masalah di dalam Konferensi Meja Bundar, New York
Agreement yang mendasari Act of Free Choice, Roma Agreement dan
lain-lainnya merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan
oleh pemerintah (state violence) dalam hal ini pemerintah Indonesia dan
Belanda. (Untuk Roma Agreement, silahkan melihat lampiran pada Karkara
oleh Ottis Simopiaref). Rakyat Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk
memilih secara demokratis di dalam Pepera. Act of Free Choice disulap
artinya oleh pemerintah Indonesia menjadi Pepera. Di sini terjadi manipulasi
pengertian dari Act of Free Choice (Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang
mengamati jalannya Pepera melaporkan bahwa rakyat Papua Barat tidak diberikan
kebebasan untuk memilih. Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans
merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri. PBB justru melakukan pelecehan
HAM melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi di mana rakyat
Papua Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah Indonesia, Belanda dan PBB
agar kembali memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu. Sejak pencaplokan pada
1 Mei 1963, pemerintah Indonesia selalu berpropaganda bahwa yang pro
kemerdekaan Papua Barat hanya segelintir orang yang sedang bergerilya di hutan.
Tapi, Gerakan Juli 1998 membuktikan yang lain di mana dunia telah menyadari
bahwa jika diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat Papua Barat
akan memilih untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun semakin
menyadari hal ini.
Menurut catatan sementara, diperkirakan bahwa sekitar
400 ribu orang Papua telah meninggal sebagai akibat dari dua hal yaitu
kebrutalan ABRI dan kelalaian politik pemerintah. Sadar atau tidak, pemerintah
Indonesia telah membuat sejarah hitam yang sama dengan sejarah Jepang, Jerman,
Amerikat Serikat, Yugoslavia dan Rwanda. Jepang kemudian memohon maaf atas
kebrutalannya menduduki beberapa daerah di Asia-Pasifik pada tahun 1940-an.
Sentimen anti Jerman masih terasa di berbagai negara Eropa Barat. Ini membuat
para pemimpin dan orang-orang Jerman menjadi kaku jika mengunjungi
negara-negara yang pernah didukinya, apalagi ke Israel. Berbagai media di dunia
pada 4 Desember 1998 memberitakan penyampaian maaf untuk pertama kali oleh
Amerika Serikat (AS) melalui menteri luarnegerinya, Madeleine Albright.
“Amerika Serikat menyesalkan »kesalahan-kesalahan yang amat sangat« yang
dilakukannya di Amerika Latin selama perang dingin”, kata Albright. AS ketika
itu mendukung para diktator bersama kekuatan kanan yang berkuasa di Amerika
Latin di mana terjadi pembantaian terhadap berjuta-juta orang kiri. Semoga
Indonesia akan bersedia untuk merubah sejarah hitam yang ditulisnya dengan
memohon maaf kepada rakyat Papua Barat di kemudian hari. Satu per satu para
penjahat perang di bekas Yugoslavia telah diseret ke Tribunal Yugoslavia di
kota Den Haag, Belanda. Agusto Pinochet, bekas diktator di Chili, sedang
diperiksa di Inggris untuk diekstradisikan ke Spanyol. Dia akan diadili atas
terbunuhnya beribu-ribu orang selama dia berkuasa di Chili. Suatu usaha sedang
dilakukan untuk mendokumentasikan identitas dan kebrutalan para pemimpin ABRI
di Papua Barat. Dokumentasi tersebut akan digunakan di kemudian hari untuk
menyeret para pemimpin ABRI ke tribunal di Den Haag. Akhir tahun ini (1998)
dunia membuka mata terhadap beberapa daerah bersengketa (dispute regions),
yaitu Irlandia Utara, Palestina dan Polisario (Sahara Barat). Kedua pemimpin di
Irlandia Utara yang masih dijajah Inggris menerima Hadiah Perdamaian Nobel
(Desember 1998). Bill Clinton, presiden Amerikat, yang mengunjungi Palestina,
tanggal 14 Desember 1998, mendengar pidato dari Yaser Arafat bahwa
daerah-daerah yang diduki di Palestina harus ditinggalkan oleh Israel.
Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang mengadakan tour di Afrika Utara
mampir di Aljasaria untuk mencoba menengahi konflik antara Front Polisario dan
Maroko. Front Polisario dengan dukungan Aljasaria masih berperang melawan
Maroko yang menduduki Polisario (International Herald Tribune, Nov. 30, 1998).
Mengapa ada konflik di Irlandia Utara, Palestina dan Polisario? Karena
rakyat-rakyat di sana menuntut hak mereka dan memiliki budaya serta
latar-belakang sejarah yang berbeda dari penjajah yang menduduki negeri mereka.
Realitas sekarang menunjukkan bahwa rakyat-rakyat di sana masih tetap berjuang
untuk membebaskan diri dari penjajahan. Realitas sekarang di Papua Barat
membuktikan adanya perlawanan rakyat menentang penjajahan Indonesia. Ini
merupakan manifestasi dari makna faktor-faktor budaya, latar-belakang sejarah
yang berbeda dari Indonesia dan terlebih hak sebagai dasar hukum di mana rakyat
Papua Barat berhak untuk merdeka di luar Indonesia.
Sejarah Papua Barat telah menjadi kuat, sarat, semakin
terbuka dan kadang-kadang meledak. Perjuangan kemerdekaan Papua Barat tidak
pernah akan berhenti atau dihentikan oleh kekuatan apapun kecuali ketiga faktor
(hak, budaya dan latarbelakang sejarah) tersebut di atas dihapuskan
keseluruhannya dari kehidupan manusia bermartabat. Rakyat Papua Barat akan
meneruskan perjuangannya untuk menjadi negara tetangga yang baik dengan
Indonesia. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi
bagian yang setara dengan masyarakat internasional. Perjuangan akan dilanjutkan
hingga perdamaian di Papua Barat tercapai. Anak-anak, yang orang-tuanya dan
kakak-kakaknya telah menjadi korban kebrutalan ABRI tidak akan hidup damai
selama Papua Barat masih merupakan daerah jajahan. Mereka akan meneruskan
perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka akan meneriakkan pekikan Martin
Luther King, pejuang penghapusan perbedaan warna kulit di Amerka Serikat,
“Lemparkan kami ke penjara, kami akan tetap menghasihi. Lemparkan bom ke rumah
kami, dan ancamlah anak-anak kami, kami tetap mengasihi”. Rakyat Papua Barat
mempunyai sebuah mimpi yang sama dengan mimpinya Martin Luther King, bahwa
»kita akan menang suatu ketika.
Sumber: Fokuspapua.com
Penulis : Ayob Tabuni
No comments:
Post a Comment