Vandana Shiva, ahli fisika berlatar belakang gerakan ekologis; Maria Mies, ilmuwan sosial, berlatar belakang feminis. Keduanya penulis yang tinggal dan bekerja di belahan negara yang berjauhan. Yang satu di belahan Selatan, yakni India, yang lainnya di belahan Utara, yakni Jerman. Hidup dan bekerja berjauhan tidak menjadi persoalan bagi Mies dan Shiva untuk menulis buku yang penuh dengan kritik sosial sekaligus ide-ide segar. Buku itu kolaborasi pandangan Mies dan Shiva dalam menyajikan gambaran seluruh masalah terkait persoalan ekologis, perempuan, dan sistem pasar dunia.
Shiva yang banyak terlibat dalam gerakan di masyarakat banyak mengkritik sistem kapitalis dunia, dari sudut pandang masyarakat yang terhisap serta pengalaman-pengalaman negara Selatan. Sementara Mies mempelajari dampaknya terhadap perempuan dari sudut pandang yang hidup “dalam lingkungan dunia yang penuh kejahatan.”
Ecofeminisme ialah istilah baru untuk gagasan lama yang tumbuh dari berbagai gerakan sosial–gerakan perempuan, perdamaian, dan ekologi–akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an. Istilah Ecofeminisme pertama kali digunakan oleh Francoise D’ Eaubonne, baru populer ketika maraknya protes dan aktivitas penentangan perusakan lingkungan hidup yang memicu bencana ekologis yang terjadi berulang-ulang. Terminologi ini dihadirkan kembali oleh Shiva dan Mies dalam buku tersebut sebagai kritik mereka terhadap proses globalisasi saat ini, yang mengatasnamakan modernisasi untuk kesejahteraan umum, akan tetapi dalam praktiknya adalah bentuk penindasan yang berbasiskan penguasaan manusia dan sumber daya alam demi akumulasi modal.
Dalam buku ini, penulis bersepakat bahwa dalam beberapa tahun terakhir isu-isu yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan pemeliharaan kehidupan, tidak hanya persoalan perempuan, anak-anak, dan umat manusia pada umumnya, tetapi juga berkait dengan makin hancur dan langkanya flora dan fauna di bumi serta kian membutuhkan perhatian khusus. Shiva dan Mies menganalisa bahwa penyebab kehancuran yang menjadi ancaman kehidupan di muka bumi ini ialah sistem yang disebut “kapitalis patriarkal” dunia. Dalam perspektif kapitalis patriarkal ini, perbedaan diartikan sebagai hirarki dan keseragaman sebagai syarat kesetaraan.
Tentu dalam struktur macam ini terdapat ketidakadilan, karena memungkinkan negara-negara Utara mendominasi negara-negara Selatan; laki-laki mendominasi perempuan, dan makin banyak penjarahan terhadap sumber daya alam. Sehingga, terjadi ketimpangan dalam distribusi keuntungan ekonomi penguasaan alam. Modernisasi “pembangunan” dan “perkembangannya” merupakan faktor yang paling bertanggungjawab terhadap degradasi alam saat ini, pun yang membuat dominasi laki-laki terhadap perempuan bertambah kuat. Kedua penulis melihat, bahwa ada hubungan hubungan dominasi eksploratif antara laki-laki dengan alam (bentukan ahli ilmu reduksionis modern sejak abad 16) dan hubungan eksploitatif menindas laki-laki atas perempuan yang muncul dalam masyarakat patriarkal awal, meskipun dalam dunia industri modern saling terkait.
Seperti dikatakan Shiva dalam tulisannya tentang “Pemiskinan terhadap Lingkungan: Perempuan dan Anak-anak yang Jadi Korban”, bahwa ekonomi global memiliki banyak sekali kebijakan yang menjamin kesejahteraan perempuan dan anak, tetapi dalam kenyataannya merekalah yang pertama kali diperosokkan dalam jurang kemiskinan. Sumber daya alam yang sejatinya dipakai sebagai sumber untuk mempertahankan hidup kini makin ter-erosi oleh tingginya permintaan atas sumber tersebut oleh ekonomi pasar yang didominasi kekuatan global. Perempuan menjadi kelompok yang mengalami ketertindasan yang lebih besar daripada laki-laki, sekaligus menjadi kelompok terdepan dalam melakukan protes atas kerusakan lingkungan. Tiap aspek kerusakan lingkungan diterjemahkan sebagai ancaman yang berbahaya bagi kehidupan generasi mendatang.
Di sisi lain, penulis mencatat bahwa telah banyak strategi survival dan perlawanan lokal yang dikembangkan perempuan terhadap kerusakan dan keterpurukan ekologi akibat sistem “patriarkal-kapital”. Misalnya, kini lebih dari sepertiga rumah tangga di Afrika, Amerika Latin, dan negara-negara maju dikepalai oleh seorang perempuan (di Norwegia jumlahnya mencapai 38 persen dan di Asia 14 persen). Kemudian di Jerman muncul gerakan perlawanan dan penolakan terhadap rencana penggunaan tenaga atom; perempuan Chipko di Himalaya telah melakukan perlawanan terhadap perusakan lingkungan akibat penebangan kayu; gerakan aktivis Sabuk Hijau di Kenya; dan perjuangan perempuan Jepang menentang polusi makanan akibat stimulasi kimia, jaringan pertanian komersial, dan produsen-konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri; gerakan perempuan miskin di Ekuador untuk menyelamatkan hutan sebagai sumber makanan bagi ikan dan udang; perjuangan beribu-ribu perempuan di negara-negara Selatan untuk menuntut manajemen dan distribusi air yang lebih baik, konservasi tanah, penggunaan tana, dan perawatan sumber kehidupan mereka (misalnya: hutan, bahan bakar, dan makanan ternak/hewan) melawan kepentingan industri. Perlawanan-perlawanan ini memperlihatkan bahwa perempuan-perempuan di seluruh dunia merasakan kemarahan dan ketidakpuasan serta bertanggungjawab untuk memelihara dan melindungi sumber alam yang ada serta menghentikan perusakan lingkungan.
Penulis buku ini juga membahas persoalan yang dihadapi
perempuan dalam melihat ekologi. Beberapa kalangan perempuan, terutama mereka
yang hidup di perkotaan dan dari kalangan kelas menengah yang sulit menerima
dan memahami keterkaitan antara kebebasan mereka dengan alam, dan kebebasan
mereka dengan pembebasan perempuan lain di seluruh dunia. Tentu ini menjadi
cabang sistem kapitalis-patriarkal melalui kebudayaan “modern” yang dibangun
berdasarkan kosmologi dan antropologi yang membedakan satu sama lain secara
struktural, dan secara hirarki selalu membedakan antara dua sisi yang saling
bertentangan: yang satu dianggap lebih kuat, selalu menindas, dan lebih maju
dibanding yang lainnya. Dengan demikian, alam disubordinasikan oleh laki-laki;
perempuan oleh laki-laki; konsumsi di dalam produksi, dan lokal dalam tingkat
global, dan seterusnya. Oleh karenanya, perspektif ecofeminism sangat
membutuhkan kosmologi baru dan antropologi baru yang memandang bahwa hidup di
alam dipertahankan dengan jalan saling kerjasama, saling memberi perhatian, dan
saling mencintai.
Bab akhir buku ini terkait dengan penghayatan penulis
terhadap ecofeminism sebagai perspektif yang berasal dari kebutuhan
dasar kehidupan. Shiva dan Mies menyebutnya “subsistence pespective”
atau “survival perspective”. Visi baru ini adalah wujud pesimisme
hasil Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro (UNCED, Juni 1992) bahwa solusi terhadap
persoalan ekologi yang ada di muka bumi saat ini, yakni masalah ekonomi dan
sosial tak bisa diharapkan dari kebaikan elite yang berkuasa. Kedua penulis
melihat bahwa perjuangan untuk mempertahankan hidup merupakan tindakan kritis
yang hanya bersifat agresif, eksploitatif, dan secara ekologis merupakan
teknologi destruktif, tetapi juga tindakan kritis terhadap produksi-komoditas,
kapitalis yang berorintasi pertumbuhan, atau sistem industri sosialis. Mereka
berpendapat bahwa perempuan lebih dekat dengan “subsistence pespective” daripada
laki-laki. Sebab perempuan di Selatan bekerja dan berjuang untuk mempertahankan
hidup dibandingkan perempuan di perkotaan, perempuan kelas menengah, dan
laki-laki di Utara. Namun semua perempuan dan laki-laki mempunyai tubuh yang
langsung terkena dampak kerusakan akibat sistem industri. Perempuan dan
laki-laki memiliki ‘basis material’ untuk menganalisis dan mengubah proses ini.
Shiva dan Mies menguraikan sembilan ciri dasar visi baru mereka yakni:
1. Tujuan
kegiatan ekonomi bukanlah untuk menimbun uang, melainkan melahirkan dan
menghasilkan kembali kehidupan, dalam artian, memenuhi kebutuhan mendasar umat
manusia dengan memproduksi “nilai guna”, bukan membeli komoditas.
2. Kegiatan
ekonomi ini didasarkan atas relasi baru: a) terhadap alam, di mana alam dihormati
dalam hal kekayaan dan keanekaragamannya, baik untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri maupun untuk keberlangsungan hidup mahluk yang ada di muka bumi
sehingga alam itu sendiri tak boleh dieksploitasi; b) di antara masyarakat, di
mana relasi non-eksploitatif terhadap alam tidak dapat diwujudkan tanpa
perubahan dalam relasi manusia, terutama relasi antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini bukan hanya dalam makna perubahan dalam berbagai konsep pembagian kerja
tetapi yang terutama menggantikan relasi uang dan relasi komoditas dengan
prinsip hubungan timbal-balik, saling menguntungkan, solidaritas, saling
mempercayai, kebersamaan dan perhatian, menghormati individu dan
bertanggungjawab terhadap ‘keseluruhan’
3. Subsistence
pespective didasarkan atas peningkatan partisipasi atau demokrasi akar rumput,
dengan menghargai seluruh keputusan ekonomi, sosial, dan teknologi.
4. Subsistence
pespective mungkin membutuhkan suatu pendekatan terhadap pemecahan persoalan
multi dimensional atau sinergis.
5. Subsistence
pespective menuntut paradigma baru ilmu, teknologi, dan pengetahuan.
6. Subsistence
pespective mengarah pada terciptanya kembali integrasi kebudayaan dan kerja,
baik kerja yang dimaknai sebagai tanggung jawab atau kerja yang dimaknai
sebagai kenikmatan.
7. Subsistence
pespective menolak privatisasi yang dilakukan dan/atau komersialisasi milik
publik: air, udara, tanah, sumber daya alam.
8. Karekteristik-karekteristik
yang ada harusnya disesuaikan dengan konsep masyarakat ecofiminism. Terutama
desakan terhadap teori dan praktik dalam keterkaitan seluruh kehidupan; dalam
desakan politik hal itu muncul di tindakan sehari-hari dan etika pengalaman,
kekonsistenan antara maksud dan tujuan; itu harus dikedepankan.
9. Menghilangkan
dikotomi life-producing antara memelihara kehidupan dan kegiatan-kegiatan
produksi komoditi dihilangkan. Subsistence pespective akan memberikan
kontribusi sangat penting dalam proses menjauhkan tindakan militeristik
laki-laki dan masyarakat.
Oleh karenanya, menurut Shiva dan Mies, penting untuk
terus membangkitkan kesadaran dan memelihara gerak hati untuk memperteguh
ketahanan inheren di semua kehidupan, guna membangkitkan optimisme keyakinan
bahwa pencarian persamaan dan perbedaan identitas menjadi hal signifikan
sebagai platform perlawanan terhadap dominasi kekuatan kapitalis-patriarkal
global, di mana kekuatan tersebut secara serentak membuat dunia menjadi homogen
dan terfragmentasi. Semua manusia, tua dan muda, segala ras dan budaya,
bersama-sama menikmati ‘kehidupan ideal’. Keadilan sosial, kesetaraan, nasib
manusia, kecantikan dan kenyamanan hidup bukan sekadar impian. *****(IK)
Judul :
Ecofeminism: Gerakan Perempuan dan Lingkungan
Penulis : Vandana Shiva & Maria Mies
Halaman : 378 Halaman
Penerbit : IRE Press Yogyakarta
Tahun : 2005
ISBN : 979-98181-6-8
Penulis : Vandana Shiva & Maria Mies
Halaman : 378 Halaman
Penerbit : IRE Press Yogyakarta
Tahun : 2005
ISBN : 979-98181-6-8
Sumber: kalyanamitra
No comments:
Post a Comment