Thursday, November 23, 2017

Kekerasan Seksual Harus Dilawan!

You need not be female or a feminist to deplore this particular violation of body and spirit. You only need to be a believer in that most basic of human rights, the right of every person to control the integrity and privacy of his or her own body.” (hal.8)



Begitulah buku ini memulainya untuk menarik minat pembaca tenggelam ke dalamnya. Seruan sederhana bagi siapapun untuk tak hanya pasif dalam menyikapi segala bentuk kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Inilah sikap yang menjawab mengapa kita perlu membaca, memahami, kemudian berempati atas segala peristiwa kekerasan khususnya pada perempuan, meskipun kita sering frustasi dan merasa tak berdaya untuk menghentikan itu.
Mengangkat isu kekerasan seksual yang dialami perempuan di daerah konflik, demikian buku ini dituliskan oleh Sharon Frederick dan the AWARE Committee on Rape (organisasi perempuan di Singapore yang berfokus pada legal advice, konseling dan asistensi segala hal yang berkaitan dengan perempuan). Secara garis besar, buku ini terbagi atas tiga bagian. Bagian pertama, penjelasan dari sisi sejarah, termasuk mengenai kedudukan perempuan dalam sejarah yang selalu diposisikan sebagai properti laki-laki, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi selama Perang Dunia I dan II, serta maksud dan tujuan kekerasan yang dilakukan.
Bagian kedua, pemaparan bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di daerah-daerah konflik yang meliputi: Haiti, Bosnia, Rwanda, Asia (Afghanistan, Myanmar, Kashmir) dan Indonesia (Aceh, Timor Leste, Papua dan Jakarta). Di bagian ketiga buku ini,  disajikan serba-serbi kekerasan seksual dan masing-masing lima hal yang dapat kita lakukan sebagai individu, negara dan komunitas internasional, untuk menyikapi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Sekian panjang deskripsi bentuk-bentuk kekerasan seksual di daerah-daerah konflik yang diungkap, pertanyaan mendasar yang muncul: mengapa semua kekerasan itu terjadi? Entah itu di Haiti, Rwanda, maupun negara-negara lain. Apa yang menimpa kaum perempuan sungguhlah brutal dan tak berperikemanusiaan sama sekali. Perempuan dijadikan budak tentara pendudukan, dipaksa kerja rodi sepanjang hari kemudian jadi ajang pelampiasan seks para prajurit. Belum lagi, jika kaum perempuan itu berasal dari kelompok minoritas atau lawan dari kelompok yang sedang berkuasa. Bila ini yang terjadi, maka kekerasan seksual menjadi bentuk kejahatan yang direncanakan demi dominasi/kekuasaan atas kelompok tertentu. Bentuk itu seperti penculikan, perkosaan, incest hingga pembunuhan dan mutilasi.
Mengapa semua itu terjadi?
Buku ini menjawab pertanyaan pada halaman 87-89. Pertama, perempuan selalu berada di kedudukan yang lemah sejak zaman sejarah. Perempuan di masyarakat selalu diposisikan sebagai “alat” atau “target” kekerasan lantaran mereka milik laki-laki. Segala bentuk dominasi dilakukan terhadap perempuan dan itu menjadi simbol dominasi kaum laki-laki yang berkuasa itu. Kedua, berhubungan dengan alasan pertama, muncul doktrin di kelompok-kelompok yang kuat/penguasa bahwa ketika mereka mampu “menundukkan” perempuan, maka mereka menundukkan komunitas di mana perempuan itu berada. “Break them (women), break the community” (hal. 88). Alasan ketiga, semua bentuk kekerasan baik perkosaan maupun pembunuhan, meskipun dikutuk sebesar apapun, tak ada tindakan berarti yang dapat menghukum para pelakunya. Memang hampir di semua negara yang dibahas pada buku ini tidak menunjukkan adanya tanda-tanda penanganan serius untuk menghukum para pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap perempuan. Kalau pun ada, itu berlangsung sangat lambat dan berlarut-larut.
Apabila kita melihat segi konfliknya, kita juga bisa mengatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan merupakan bagian dari strategi peperangan. Perempuan sebagai lambang kaum yang lemah, menjadi alat bagi kelompok penguasa untuk mengintimidasi atau meneror masyarakat sipil, mempermalukan atau menghina, serta sebagai perangsang keberanian di area konflik. Yang lebih buruk lagi, tak jarang perempuan dipaksa untuk menjadi pekerja seks, lalu dibayar atau dijadikan “wanita simpanan”, sehingga mengubah kekerasan seksual menjadi pelacuran. Itu juga dimaksudkan agar perempuan berbagi tanggung jawab terhadap semua akibat yang mungkin terjadi.
Buku ini juga membahas bermacam-macam konsekuensi atau akibat yang terjadi pada perempuan pasca kekerasan seksual. Banyak dari mereka yang mengalami penderitaan serius baik secara fisik, psikologis maupun sosial. Jika tidak kehilangan nyawa atau diculik, para perempuan dapat mengalami trauma fisik dan luka berkepanjangan yang memungkinkan mereka untuk tak lagi mampu memiliki anak, atau yang lebih buruk jika terkena virus AIDS. “I am alive but this is a living death”, begitu yang dikatakan oleh Immanuelle, seorang korban perkosaan di Rwanda yang kemudian divonis AIDS, setelah sekian tahun mengalami trauma fisik parah (hal. 89).
Secara emosional dan psikologis, luka yang dialami perempuan dapat sangat berat dan melebihi siksaan fisik. Banyak perempuan meskipun telah mengalami kekerasan seksual bertahun-tahun, namun tak mampu kembali normal secara fisik dan mental, seperti sedia kala. Seluruh trauma yang mereka alami akan memperburuk kondisi mereka, ketika kemudian dalam lingkungan sosialnya juga mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Di Afghanistan misalnya, lingkungan yang masih sangat memegang tradisi bahwa kesucian perempuan dilambangkan dengan menutup seluruh tubuhnya, maka dapat dibayangkan bila mereka mengalami kekerasan seksual, lebih-lebih perkosaan, tentu masyarakat akan memandang bahwa mereka sudah tidak suci lagi. Di tengah-tengah masyarakat juga masih ada pandangan, bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan adalah masalah dalam rumah tangga, sehingga tidak perlu diungkapkan dan diusut lebih lanjut. Dalam hal perempuan dipaksa untuk menjadi pekerja seks yang dibayar, maka perempuan juga menerima perlakuan tidak menyenangkan dari masyarakat lantaran dianggap bersekutu dengan musuh atau mengkhianati kelompoknya. Semua itu dan efek-efek lain yang timbul akibat perlakuan kekerasan seksual terhadap perempuan selama konflik terjadi, intinya hanya merucut pada satu hal, bahwa perempuan selalu menjadi korban.
Dalam menyikapi semua bentuk kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan, buku ini memberikan informasi yang dapat dilakukan, baik oleh individu, negara maupun komunitas internasional. Mulai dari belajar meningkatkan pengetahuan pribadi tentang segala hal yang berhubungan dengan kekerasan seksual terhadap perempuan, melobi pemerintah untuk membuat atau meratifikasi peraturan-peraturan yang berpihak pada perempuan, serta melakukan aksi untuk mendorong agar seluruh kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan selama konflik terjadi ditindak sebagai kejahatan kemanusiaan, yang pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Tidak hanya orang yang saat itu ada di tempat, tetapi juga semua pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan itu.
Di beberapa halaman bagian akhir buku, juga ditampilkan gambar-gambar kondisi perempuan di beberapa negara yang dibahas di bab-bab sebelumnya: Haiti, Bosnia, Afghanistan, Myanmar, India, Timor Leste dan Indonesia. Semuanya menampilkan betapa kekerasan terhadap perempuan sangat berakibat buruk. Dan harus dikawal penyelesaiannya, agar tidak berlarut-larut dan berhenti di tengah jalan. Juga beberapa gambar yang menunjukkan aktivitas AWARE untuk mendorong agar pengusutan dan penyelesaian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi terhadap perempuan etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta terus dilakukan. Dalam buku ini juga dilampirkan 15 langkah-langkah penting yang dapat dilakukan untuk melindungi hak-hak asasi perempuan yang merupakan rekomendasi dari Amnesty International, serta beberapa organisasi di tingkat internasional, yang siap sedia menerima dan memberikan advokasi terhadap segala macam bentuk kasus kekerasan yang menimpa perempuan.
Akhirnya, kekerasan terhadap perempuan harus menjadi perhatian bersama, karena ini tidak hanya tentang urusan rumah tangga, tetapi melibatkan lingkungan, masyarakat dan kelangsungan hidup suatu bangsa. Tiap kekerasan yang terjadi pada perempuan harus diusut hingga tuntas dan ditindak dengan hukuman seberat-beratnya, karena perempuan tak butuh hanya kata-kata, seperti yang diungkapkan oleh Kofi Annan (dikutip di hal 86 buku ini): “…they need a real and sustained commitment to help end their cycles of violence, and give them a new chance to achieve peace and prosperity.” *****(Oyong DC)

Judul             :  Rape; Weapon of Terror
Penulis         :  Sharon Frederick & the AWARE (Association of Women for Action and Research) Committee on Rape
Penerbit      :  Global Publishing Co. Inc., USA
Bahasa         :  Inggris
Tahun terbit :  2001
Tebal           :  x + 117 halaman
ISBN            :  1-879771-53-5
Sumber: Kalyanamitra

 

No comments: