Begitulah buku ini memulainya untuk
menarik minat pembaca tenggelam ke dalamnya. Seruan sederhana bagi siapapun
untuk tak hanya pasif dalam menyikapi segala bentuk kekerasan yang terjadi
terhadap perempuan. Inilah sikap yang menjawab mengapa kita perlu membaca,
memahami, kemudian berempati atas segala peristiwa kekerasan khususnya pada
perempuan, meskipun kita sering frustasi dan merasa tak berdaya untuk
menghentikan itu.
Mengangkat isu kekerasan seksual
yang dialami perempuan di daerah konflik, demikian buku ini dituliskan oleh
Sharon Frederick dan the AWARE Committee on Rape (organisasi perempuan di
Singapore yang berfokus pada legal advice, konseling dan asistensi segala hal
yang berkaitan dengan perempuan). Secara garis besar, buku ini terbagi atas
tiga bagian. Bagian pertama, penjelasan dari sisi sejarah, termasuk mengenai
kedudukan perempuan dalam sejarah yang selalu diposisikan sebagai properti
laki-laki, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi selama Perang Dunia I dan
II, serta maksud dan tujuan kekerasan yang dilakukan.
Bagian kedua, pemaparan
bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di daerah-daerah konflik yang meliputi:
Haiti, Bosnia, Rwanda, Asia (Afghanistan, Myanmar, Kashmir) dan Indonesia
(Aceh, Timor Leste, Papua dan Jakarta). Di bagian ketiga buku ini,
disajikan serba-serbi kekerasan seksual dan masing-masing lima hal yang dapat
kita lakukan sebagai individu, negara dan komunitas internasional, untuk
menyikapi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Sekian panjang deskripsi
bentuk-bentuk kekerasan seksual di daerah-daerah konflik yang diungkap,
pertanyaan mendasar yang muncul: mengapa semua kekerasan itu terjadi? Entah itu
di Haiti, Rwanda, maupun negara-negara lain. Apa yang menimpa kaum perempuan
sungguhlah brutal dan tak berperikemanusiaan sama sekali. Perempuan dijadikan
budak tentara pendudukan, dipaksa kerja rodi sepanjang hari kemudian jadi ajang
pelampiasan seks para prajurit. Belum lagi, jika kaum perempuan itu berasal
dari kelompok minoritas atau lawan dari kelompok yang sedang berkuasa. Bila ini
yang terjadi, maka kekerasan seksual menjadi bentuk kejahatan yang direncanakan
demi dominasi/kekuasaan atas kelompok tertentu. Bentuk itu seperti penculikan,
perkosaan, incest hingga pembunuhan dan mutilasi.
Mengapa semua itu terjadi?
Buku ini menjawab pertanyaan pada
halaman 87-89. Pertama, perempuan selalu berada di kedudukan yang lemah sejak
zaman sejarah. Perempuan di masyarakat selalu diposisikan sebagai “alat” atau
“target” kekerasan lantaran mereka milik laki-laki. Segala bentuk dominasi
dilakukan terhadap perempuan dan itu menjadi simbol dominasi kaum laki-laki
yang berkuasa itu. Kedua, berhubungan dengan alasan pertama, muncul doktrin di
kelompok-kelompok yang kuat/penguasa bahwa ketika mereka mampu “menundukkan”
perempuan, maka mereka menundukkan komunitas di mana perempuan itu berada.
“Break them (women), break the community” (hal. 88). Alasan ketiga, semua bentuk
kekerasan baik perkosaan maupun pembunuhan, meskipun dikutuk sebesar apapun,
tak ada tindakan berarti yang dapat menghukum para pelakunya. Memang hampir di
semua negara yang dibahas pada buku ini tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
penanganan serius untuk menghukum para pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap
perempuan. Kalau pun ada, itu berlangsung sangat lambat dan berlarut-larut.
Apabila kita melihat segi
konfliknya, kita juga bisa mengatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi
terhadap perempuan merupakan bagian dari strategi peperangan. Perempuan sebagai
lambang kaum yang lemah, menjadi alat bagi kelompok penguasa untuk
mengintimidasi atau meneror masyarakat sipil, mempermalukan atau menghina,
serta sebagai perangsang keberanian di area konflik. Yang lebih buruk lagi, tak
jarang perempuan dipaksa untuk menjadi pekerja seks, lalu dibayar atau
dijadikan “wanita simpanan”, sehingga mengubah kekerasan seksual menjadi
pelacuran. Itu juga dimaksudkan agar perempuan berbagi tanggung jawab terhadap
semua akibat yang mungkin terjadi.
Buku ini juga membahas
bermacam-macam konsekuensi atau akibat yang terjadi pada perempuan pasca
kekerasan seksual. Banyak dari mereka yang mengalami penderitaan serius baik
secara fisik, psikologis maupun sosial. Jika tidak kehilangan nyawa atau
diculik, para perempuan dapat mengalami trauma fisik dan luka berkepanjangan
yang memungkinkan mereka untuk tak lagi mampu memiliki anak, atau yang lebih
buruk jika terkena virus AIDS. “I am alive but this is a living death”, begitu
yang dikatakan oleh Immanuelle, seorang korban perkosaan di Rwanda yang
kemudian divonis AIDS, setelah sekian tahun mengalami trauma fisik parah (hal.
89).
Secara emosional dan psikologis,
luka yang dialami perempuan dapat sangat berat dan melebihi siksaan fisik.
Banyak perempuan meskipun telah mengalami kekerasan seksual bertahun-tahun,
namun tak mampu kembali normal secara fisik dan mental, seperti sedia kala.
Seluruh trauma yang mereka alami akan memperburuk kondisi mereka, ketika
kemudian dalam lingkungan sosialnya juga mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan. Di Afghanistan misalnya, lingkungan yang masih sangat memegang
tradisi bahwa kesucian perempuan dilambangkan dengan menutup seluruh tubuhnya,
maka dapat dibayangkan bila mereka mengalami kekerasan seksual, lebih-lebih
perkosaan, tentu masyarakat akan memandang bahwa mereka sudah tidak suci lagi.
Di tengah-tengah masyarakat juga masih ada pandangan, bahwa kasus kekerasan
seksual terhadap perempuan adalah masalah dalam rumah tangga, sehingga tidak perlu
diungkapkan dan diusut lebih lanjut. Dalam hal perempuan dipaksa untuk menjadi
pekerja seks yang dibayar, maka perempuan juga menerima perlakuan tidak
menyenangkan dari masyarakat lantaran dianggap bersekutu dengan musuh atau
mengkhianati kelompoknya. Semua itu dan efek-efek lain yang timbul akibat
perlakuan kekerasan seksual terhadap perempuan selama konflik terjadi, intinya
hanya merucut pada satu hal, bahwa perempuan selalu menjadi korban.
Dalam menyikapi semua bentuk
kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan, buku ini memberikan informasi
yang dapat dilakukan, baik oleh individu, negara maupun komunitas
internasional. Mulai dari belajar meningkatkan pengetahuan pribadi tentang
segala hal yang berhubungan dengan kekerasan seksual terhadap perempuan, melobi
pemerintah untuk membuat atau meratifikasi peraturan-peraturan yang berpihak
pada perempuan, serta melakukan aksi untuk mendorong agar seluruh kekerasan
terhadap perempuan yang dilakukan selama konflik terjadi ditindak sebagai
kejahatan kemanusiaan, yang pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Tidak
hanya orang yang saat itu ada di tempat, tetapi juga semua pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan itu.
Di beberapa halaman bagian akhir
buku, juga ditampilkan gambar-gambar kondisi perempuan di beberapa negara yang
dibahas di bab-bab sebelumnya: Haiti, Bosnia, Afghanistan, Myanmar, India,
Timor Leste dan Indonesia. Semuanya menampilkan betapa kekerasan terhadap
perempuan sangat berakibat buruk. Dan harus dikawal penyelesaiannya, agar tidak
berlarut-larut dan berhenti di tengah jalan. Juga beberapa gambar yang
menunjukkan aktivitas AWARE untuk mendorong agar pengusutan dan penyelesaian
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi terhadap perempuan etnis
Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta terus dilakukan. Dalam buku ini
juga dilampirkan 15 langkah-langkah penting yang dapat dilakukan untuk
melindungi hak-hak asasi perempuan yang merupakan rekomendasi dari Amnesty
International, serta beberapa organisasi di tingkat internasional, yang siap
sedia menerima dan memberikan advokasi terhadap segala macam bentuk kasus
kekerasan yang menimpa perempuan.
Akhirnya, kekerasan terhadap
perempuan harus menjadi perhatian bersama, karena ini tidak hanya tentang
urusan rumah tangga, tetapi melibatkan lingkungan, masyarakat dan kelangsungan
hidup suatu bangsa. Tiap kekerasan yang terjadi pada perempuan harus diusut
hingga tuntas dan ditindak dengan hukuman seberat-beratnya, karena perempuan
tak butuh hanya kata-kata, seperti yang diungkapkan oleh Kofi Annan (dikutip di
hal 86 buku ini): “…they need a real and sustained commitment to help end their
cycles of violence, and give them a new chance to achieve peace and
prosperity.” *****(Oyong DC)
Judul
: Rape; Weapon of Terror
Penulis : Sharon Frederick & the AWARE (Association of Women for Action and Research) Committee on Rape
Penerbit : Global Publishing Co. Inc., USA
Bahasa : Inggris
Tahun terbit : 2001
Tebal : x + 117 halaman
ISBN : 1-879771-53-5
Penulis : Sharon Frederick & the AWARE (Association of Women for Action and Research) Committee on Rape
Penerbit : Global Publishing Co. Inc., USA
Bahasa : Inggris
Tahun terbit : 2001
Tebal : x + 117 halaman
ISBN : 1-879771-53-5
Sumber: Kalyanamitra
No comments:
Post a Comment