“Para Mama di Papua menjadi faktor penting dalam mendorong pembangunan lokal. Sejak pagi membuka mata, selain memasak untuk keluarga mereka, juga memberi makan ternak-ternak mereka. Setelah itu mereka pergi ke ladang untuk mencangkul. Bila ada tanaman kebun yang siap dipanen, selain untuk konsumsi sendiri, mereka akan menjualnya ke pasar. Tidak peduli seberapa jauh jarak pasar yang harus mereka tempuh dari rumah mereka, akan mereka lakukan hanya untuk mendapatkan hasil yang tidak seberapa banyak.”
Dikisahkan oleh Mungky Sahid*
Papua sangat menarik bagi saya
karena selain kekayaan alam yang melimpah, adalah mengenai budaya dan stigma
yang dilakukan orang lain terhadap daerah itu sejak saya kecil. Sebagai seorang
perempuan Jawa, menjadi berkah untuk belajar mengenai budaya dan perempuan dari
Indonesia Timur, khususnya Papua.
Sejak saya
duduk di Sekolah Dasar, dan yang dialami oleh sebagian besar dari system
pendidikan yang kita alami hingga saat ini, menjadi mudah bagi kita membuat
stigmanisasi dan penilaian kepada sesuatu yang dianggap berbeda dari kelompok
kita. Kelemahan dalam system dan pola ajar pendidikan yang kita alami di
kebanyakan masyarakat modern saat ini.
Papua sebagai
sebuah provinsi paling Timur di Indonesia menjadi sebuah wilayah yang sangat
tertinggal dibandingkan dari daerah lainnya di Indonesia. Selain karena letak
geografis yang jauh dari jangkauan pusat yang berada di wilayah barat, Papua
juga menjadi daerah “tak-terjamah” oleh masyarakat Indonesia. Bahkan sejak
tahun 1969, mulai bergabungnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), Papua menjadi tempat Operasi Militer (Tebay, 2011). Sebagai sebuah
daerah Operasi Militer, menjadi banyaknya kasus pelanggaran HAM terjadi di
sana. Akan tetapi jauh sebelum itu, ada hal yang menarik yang saya pelajari
dari sisi lain Papua, perempuan Papua.
Sebagai
provinsi paling Timur di Indonesia, Papua mempunyai keunikan yang tidak di
miliki oleh suku lain di Indonesia. Di Papua sendiri setidaknya ada seribu
lebih suku asli Papua. Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2000 jumlah
penduduk lebih dari satu juta orang.
Pengalaman
saya berkunjung ke Papua selama hampir sepuluh hari, dan mengunjungi beberapa
daerah di pedalaman Papua, membuat saya belajar secara langsung dengan
masyarakat setempat terutama dengan para mama-mama Papua. Wilayah pertama yang
saya kunjungi pertama pada awal Desember 2011 adalah Tolikara. Sebuah wilayah
terpencil di kaki pegunungan Jayawijaya. Salah satu wilayah yang diapit oleh
pegunungan. Sebuah tempat yang sangat indah, dengan ibukota Karubaga,
menjadikan Tolikara menjadi salah satu wilayah penting. Karena bila kita hendak
menuju Puncak Jaya, maka salah satu jalurnya adalah Tolikara.
Kami
memutuskan menempuh jalur darat dari Wamena. Tim kami berjumlah tiga orang,
dimana saya satu-satunya perempuan di antara dua laki-laki saat itu. Dengan
jumlah tim yang terdiri dari tiga orang itu, kami harus membuat sebuah video
dokumenter mengenai kondisi di beberapa wilayah di Papua. Tolikara menjadi
salah satu yang dipilih karena menjadi wilayah penting dengan akses
infrastruktur rendah.
Kami berangkat
dari Wamena pada pagi hari, dengan perkiraaan bahwa sebelum matahari tenggelam
kami sudah tiba di Karubaga. Namun karena harus banyaknya spot yang diambil,
maka kami baru tiba malam hari. Bersama tim, pada saat itu, saya mengusulkan
untuk menginap di rumah penduduk lokal. Alasannya sederhana, data yang lebih
otentik bila berbaur dengan orang asli.
Sebelumnya
kami tidak mengenal sama sekali tuan rumah tempat kami menginap. Kami di
rekomendasikan oleh driver lokal yang kami sewa untuk mengantarkan kami. Si
empunya rumah adalah seorang ibu beranak dua. Dia baru saja mengalami
perceraian dengan bapak dari anak-anaknya. Namanya adalah Mira. Saya tidak
ingat sama sekali nama lengkap nama perempuan yang telah banyak membantu kami
itu. Tapi yang jelas, dia adalah seorang perempuan tangguh dan sangat mandiri.
Meski
berangkat dari keluarga terpandang di wilayahnya, Mira bukanlah seorang
perempuan angkuh. Terlihat dari kebaikan hatinya menampung banyak keluarga
besarnya untuk tinggal di rumahnya (selain rumah kayu, ada dua honai yang
dimiliki oleh Mira). Ayah Mira adalah salah satu anggota DPRD Papua, sebuah
kebetulan yang menguntungkan kami untuk mendapatkan data yang lebih banyak
tentang wilayah tersebut.
Kondisi Pendidikan Anak Perempuan Papua
Masih Sangat Rendah
Hal yang menyedihkan selama tiga
hari tinggal di Karubaga dalam pengalaman saya secara pribadi adalah kondisi
pendidikan dan kesehatan. Sebagai daerah terpencil, akses kesehatan dan
pendidikan menjadi sesuatu yang sulit dimiliki oleh masyarakat lokal di sana.
Selain jumlah tenaga medis yang jauh dari jumlah ideal di sebuah daerah,
obat-obatan disana pun banyak yang sudah hampir kadaluarsa. Sementara anak-anak
di Karubaga harus berdamai dengan kondisi bahwa guru mereka kadang tidak hadir
dalam jadwal sekolah sehari-hari.
Saya menemukan anak kelas 4 SD namun
belum dapat membaca dan menulis. Sangat menyedihkan. Bukan karena keterbatasan
kemampuan akademiknya, melainkan kenyataan yang harus dialami oleh para siswa
di Karubaga memiliki guru dari luar daerah. Dengan menempatkan guru yang
berasal dari luar Karubaga, menjadikan siswa sekolah di Tolikara dan sekitarnya
sering ditinggal guru mereka selama berminggu-minggu, karena guru mereka harus
pulang kampung.
Guru mereka kebanyakan berasal dari
Wamena. Dapat saya bayangkan, dengan jalur darat saja, harus menempuh waktu
setidaknya empat jam. Sementara jadwal penerbangan hanya ada dua minggu sekali
menuju Tolikara dari Wamena. Kondisi anak-anak itu sebenarnya sangat semangat
untuk belajar. Terbukti ketika saya mengajarkan mereka membaca, mereka
menangkapnya dengan cepat.
Semangat anak-anak lokal di Papua
untuk bersekolah tidak lantas datang sendiri. Sebagai anak kecil tentulah
secara usia mereka masih senang untuk bermain. Namun hal lain yang saya temukan
adalah, semangat yang ditularkan oleh mama mereka. Sebagai informasi, menurut
data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal pada tahun 2011, Papua menjadi
wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi dan jumlah buta huruf tertinggi.
Banyak perempuan di Papua tidak dapat mengakses pendidikan formal. Meski
demikian, semangat mereka untuk merubah kondisi perekonomian keluarga mereka
sangat tinggi.
Para perempuan di Papua berkeyakinan
bahwa pendidikan adalah salah satu jalur untuk “mengubah nasib” keluarga
mereka. Setidaknya itulah yang ditanamkan mereka kepada anak-anak mereka. Meski
dengan perjuangan keras mereka bertekad untuk menyekolahkan anak mereka. Bahkan
bila ada kemampuan lebih, mereka akan mengirim anak mereka bersekolah di Jawa
untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik. Dengan harapan setelah lulus dari
Jawa mereka kembali untuk membangun Papua.
Peran Mama-mama Papua
Mama-mama di Papua mempunyai peran
besar dalam pembangunan lokal di wilayah mereka. Dalam pengamatan saya,
perempuan di Papua menjadi faktor penting dalam mendorong pembangunan disana.
Sejak pagi membuka mata, selain memasak untuk keluarga mereka, juga memberi
makan ternak-ternak mereka. Setelah itu mereka pergi ke ladang untuk
mencangkul. Bila ada tanaman kebun yang siap di panen, selain untuk konsumsi
sendiri, mereka akan menjualnya ke pasar. Tidak peduli seberapa jauh jarak
pasar yang harus mereka tempuh dari rumah mereka, akan mereka lakukan hanya
untuk mendapatkan hasil yang tidak seberapa banyak.
Di Papua, system barter pun masih
saya temukan. Transaksi perdagangan tidak hanya dilakukan dengan system
pembayaran modern dengan selembar kertas yang menjadi alat pembayaran dalam
masyarakat modern saat ini. Terkadang mereka memutuskan untuk barter dengan
barang lain dengan pembeli. Sedangkan di hari Minggu atau hari-hari besar
agama, mereka akan berkumpul di gereja untuk kebaktian ataupun sekadar duduk di
rerumputan sambil menganyam Noken (baca: tas khas Papua) untuk keperluan
pribadi atau di jual.
Dari hal-hal di atas itulah saya
menarik pelajaran bahwa, peran perempuan di Papua sangat vital dalam membangun
manusia dan perekonomian. Lebih dari itu, perempuan Papua yang tidak mengenyam
pendidikan bahkan mengajarkan kita, terutama saya sebagai perempuan, menjadi
sebuah entitas dan manusia mandiri. Para Mama di Papua telah mengajarkan saya
bagaimana menjadi seorang perempuan dan perempuan, serta ibu. Bagi saya,
pengalaman itu yang hingga kini tidak akan pernah saya lupakan. Dan menjadi
inspirasi untuk saya berbagi semangat para Mama itu kepada khalayak tentang
pentingnya peran perempuan.
Serpong, 5 Mei 2016.
Keterangan Penulis :
*Mungky Sahid adalah
salah satu dosen di Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta. Sebelumnya, dia
merupakan jurnalis di RRI untuk program Voice of Indonesia (VOI). Dia juga
salah satu alumni Paramadina Graduate Schools of Communication (PGSC) Jakarta
di jurusan Political Communication (Polcom). Kisah ini hanyalah bagian kecil
dari pengalamannya saat melakukan penelitian di Papua.
Sumber Foto: Kompas
No comments:
Post a Comment