Thursday, November 23, 2017

Mama-Mama Papua dan Perannya dalam Pembangunan Lokal

Para Mama di Papua menjadi faktor penting dalam mendorong pembangunan lokal. Sejak pagi membuka mata, selain memasak untuk keluarga mereka, juga memberi makan ternak-ternak mereka. Setelah itu mereka pergi ke ladang untuk mencangkul. Bila ada tanaman kebun yang siap dipanen, selain untuk konsumsi sendiri, mereka akan menjualnya ke pasar. Tidak peduli seberapa jauh jarak pasar yang harus mereka tempuh dari rumah mereka, akan mereka lakukan hanya untuk mendapatkan hasil yang tidak seberapa banyak.”
Dikisahkan oleh Mungky Sahid*
Papua sangat menarik bagi saya karena selain kekayaan alam yang melimpah, adalah mengenai budaya dan stigma yang dilakukan orang lain terhadap daerah itu sejak saya kecil. Sebagai seorang perempuan Jawa, menjadi berkah untuk belajar mengenai budaya dan perempuan dari Indonesia Timur, khususnya Papua.
Sejak saya duduk di Sekolah Dasar, dan yang dialami oleh sebagian besar dari system pendidikan yang kita alami hingga saat ini, menjadi mudah bagi kita membuat stigmanisasi dan penilaian kepada sesuatu yang dianggap berbeda dari kelompok kita. Kelemahan dalam system dan pola ajar pendidikan yang kita alami di kebanyakan masyarakat modern saat ini.
Papua sebagai sebuah provinsi paling Timur di Indonesia menjadi sebuah wilayah yang sangat tertinggal dibandingkan dari daerah lainnya di Indonesia. Selain karena letak geografis yang jauh dari jangkauan pusat yang berada di wilayah barat, Papua juga menjadi daerah “tak-terjamah” oleh masyarakat Indonesia. Bahkan sejak tahun 1969, mulai bergabungnya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Papua menjadi tempat Operasi Militer (Tebay, 2011). Sebagai sebuah daerah Operasi Militer, menjadi banyaknya kasus pelanggaran HAM terjadi di sana. Akan tetapi jauh sebelum itu, ada hal yang menarik yang saya pelajari dari sisi lain Papua, perempuan Papua.
Sebagai provinsi paling Timur di Indonesia, Papua mempunyai keunikan yang tidak di miliki oleh suku lain di Indonesia. Di Papua sendiri setidaknya ada seribu lebih suku asli Papua. Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2000 jumlah penduduk lebih dari satu juta orang.
Pengalaman saya berkunjung ke Papua selama hampir sepuluh hari, dan mengunjungi beberapa daerah di pedalaman Papua, membuat saya belajar secara langsung dengan masyarakat setempat terutama dengan para mama-mama Papua. Wilayah pertama yang saya kunjungi pertama pada awal Desember 2011 adalah Tolikara. Sebuah wilayah terpencil di kaki pegunungan Jayawijaya. Salah satu wilayah yang diapit oleh pegunungan. Sebuah tempat yang sangat indah, dengan ibukota Karubaga, menjadikan Tolikara menjadi salah satu wilayah penting. Karena bila kita hendak menuju Puncak Jaya, maka salah satu jalurnya adalah Tolikara.
Kami memutuskan menempuh jalur darat dari Wamena. Tim kami berjumlah tiga orang, dimana saya satu-satunya perempuan di antara dua laki-laki saat itu. Dengan jumlah tim yang terdiri dari tiga orang itu, kami harus membuat sebuah video dokumenter mengenai kondisi di beberapa wilayah di Papua. Tolikara menjadi salah satu yang dipilih karena menjadi wilayah penting dengan akses infrastruktur rendah.
Kami berangkat dari Wamena pada pagi hari, dengan perkiraaan bahwa sebelum matahari tenggelam kami sudah tiba di Karubaga. Namun karena harus banyaknya spot yang diambil, maka kami baru tiba malam hari. Bersama tim, pada saat itu, saya mengusulkan untuk menginap di rumah penduduk lokal. Alasannya sederhana, data yang lebih otentik bila berbaur dengan orang asli.
Sebelumnya kami tidak mengenal sama sekali tuan rumah tempat kami menginap. Kami di rekomendasikan oleh driver lokal yang kami sewa untuk mengantarkan kami. Si empunya rumah adalah seorang ibu beranak dua. Dia baru saja mengalami perceraian dengan bapak dari anak-anaknya. Namanya adalah Mira. Saya tidak ingat sama sekali nama lengkap nama perempuan yang telah banyak membantu kami itu. Tapi yang jelas, dia adalah seorang perempuan tangguh dan sangat mandiri.
Meski berangkat dari keluarga terpandang di wilayahnya, Mira bukanlah seorang perempuan angkuh. Terlihat dari kebaikan hatinya menampung banyak keluarga besarnya untuk tinggal di rumahnya (selain rumah kayu, ada dua honai yang dimiliki oleh Mira). Ayah Mira adalah salah satu anggota DPRD Papua, sebuah kebetulan yang menguntungkan kami untuk mendapatkan data yang lebih banyak tentang wilayah tersebut.
 Kondisi Pendidikan Anak Perempuan Papua Masih Sangat Rendah
Hal yang menyedihkan selama tiga hari tinggal di Karubaga dalam pengalaman saya secara pribadi adalah kondisi pendidikan dan kesehatan. Sebagai daerah terpencil, akses kesehatan dan pendidikan menjadi sesuatu yang sulit dimiliki oleh masyarakat lokal di sana. Selain jumlah tenaga medis yang jauh dari jumlah ideal di sebuah daerah, obat-obatan disana pun banyak yang sudah hampir kadaluarsa. Sementara anak-anak di Karubaga harus berdamai dengan kondisi bahwa guru mereka kadang tidak hadir dalam jadwal sekolah sehari-hari.
Saya menemukan anak kelas 4 SD namun belum dapat membaca dan menulis. Sangat menyedihkan. Bukan karena keterbatasan kemampuan akademiknya, melainkan kenyataan yang harus dialami oleh para siswa di Karubaga memiliki guru dari luar daerah. Dengan menempatkan guru yang berasal dari luar Karubaga, menjadikan siswa sekolah di Tolikara dan sekitarnya sering ditinggal guru mereka selama berminggu-minggu, karena guru mereka harus pulang kampung.
Guru mereka kebanyakan berasal dari Wamena. Dapat saya bayangkan, dengan jalur darat saja, harus menempuh waktu setidaknya empat jam. Sementara jadwal penerbangan hanya ada dua minggu sekali menuju Tolikara dari Wamena. Kondisi anak-anak itu sebenarnya sangat semangat untuk belajar. Terbukti ketika saya mengajarkan mereka membaca, mereka menangkapnya dengan cepat.
Semangat anak-anak lokal di Papua untuk bersekolah tidak lantas datang sendiri. Sebagai anak kecil tentulah secara usia mereka masih senang untuk bermain. Namun hal lain yang saya temukan adalah, semangat yang ditularkan oleh mama mereka. Sebagai informasi, menurut data Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal pada tahun 2011, Papua menjadi wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi dan jumlah buta huruf tertinggi. Banyak perempuan di Papua tidak dapat mengakses pendidikan formal. Meski demikian, semangat mereka untuk merubah kondisi perekonomian keluarga mereka sangat tinggi.
Para perempuan di Papua berkeyakinan bahwa pendidikan adalah salah satu jalur untuk “mengubah nasib” keluarga mereka. Setidaknya itulah yang ditanamkan mereka kepada anak-anak mereka. Meski dengan perjuangan keras mereka bertekad untuk menyekolahkan anak mereka. Bahkan bila ada kemampuan lebih, mereka akan mengirim anak mereka bersekolah di Jawa untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik. Dengan harapan setelah lulus dari Jawa mereka kembali untuk membangun Papua.
Peran Mama-mama Papua
Mama-mama di Papua mempunyai peran besar dalam pembangunan lokal di wilayah mereka. Dalam pengamatan saya, perempuan di Papua menjadi faktor penting dalam mendorong pembangunan disana. Sejak pagi membuka mata, selain memasak untuk keluarga mereka, juga memberi makan ternak-ternak mereka. Setelah itu mereka pergi ke ladang untuk mencangkul. Bila ada tanaman kebun yang siap di panen, selain untuk konsumsi sendiri, mereka akan menjualnya ke pasar. Tidak peduli seberapa jauh jarak pasar yang harus mereka tempuh dari rumah mereka, akan mereka lakukan hanya untuk mendapatkan hasil yang tidak seberapa banyak.
Di Papua, system barter pun masih saya temukan. Transaksi perdagangan tidak hanya dilakukan dengan system pembayaran modern dengan selembar kertas yang menjadi alat pembayaran dalam masyarakat modern saat ini. Terkadang mereka memutuskan untuk barter dengan barang lain dengan pembeli. Sedangkan di hari Minggu atau hari-hari besar agama, mereka akan berkumpul di gereja untuk kebaktian ataupun sekadar duduk di rerumputan sambil menganyam Noken (baca: tas khas Papua) untuk keperluan pribadi atau di jual.
Dari hal-hal di atas itulah saya menarik pelajaran bahwa, peran perempuan di Papua sangat vital dalam membangun manusia dan perekonomian. Lebih dari itu, perempuan Papua yang tidak mengenyam pendidikan bahkan mengajarkan kita, terutama saya sebagai perempuan, menjadi sebuah entitas dan manusia mandiri. Para Mama di Papua telah mengajarkan saya bagaimana menjadi seorang perempuan dan perempuan, serta ibu. Bagi saya, pengalaman itu yang hingga kini tidak akan pernah saya lupakan. Dan menjadi inspirasi untuk saya berbagi semangat para Mama itu kepada khalayak tentang pentingnya peran perempuan.
Serpong, 5 Mei 2016.

Keterangan Penulis :
*Mungky Sahid adalah salah satu dosen di Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta. Sebelumnya, dia merupakan jurnalis di RRI untuk program Voice of Indonesia (VOI). Dia juga salah satu alumni Paramadina Graduate Schools of Communication (PGSC) Jakarta di jurusan Political Communication (Polcom). Kisah ini hanyalah bagian kecil dari pengalamannya saat melakukan penelitian di Papua.
Sumber Foto: Kompas

No comments: