Sepotong wajah mengikutiku ke manapun aku pergi dan di manapun aku berada. Aku mencuci piring di dapur, sepotong wajah menungguiku sampai aku selesai. Aku pergi berbelanja ke pasar, sepotong wajah menemaniku memilih barang-barang yang kubutuhkan. Aku bekerja di kantor, sepotong wajah memandangiku dari sebuah sudut. Aku pulang, bersih-bersih rumah, sepotong wajah berkelebatan di dalam rumah, seperti hendak membantu. Bahkan ketika aku di dalam kamar, menyatukan tubuh dengan tubuh suamiku, sepotong wajah itu menggantikan wajah suamiku. (Puisi Karya Aly D. Musyrifah)
Dikisahkan oleh Alimah Fauzan
Bait puisi ini tidak sedang
dibacakan dalam sebuah pentas baca puisi. Namun lebih dari itu, ia menjadi
bagian dari salah satu naskah “Kolase dan 7 Jendela Kaca’ #5 Wajah Perempuan
Retak”. Dalam pentas teater ini, satu per satu kisah perjalanan perempuan terkuak.
Di setiap kalimat dan istilah yang dimunculkan, bukan sekadar merefleksikan
daya tahan para perempuan di tengah budaya patriarki dan diskriminasi. Lebih
dari itu, seakan ingin mengubah cara pandang kita bagaimana memosisikan
perempuan sebagai korban. Bahkan sejak sebelum perempuan itu dilahirkan,
sejumlah stigmatisasi dilekatkan padanya. Persoalan berlanjut setelah dia
dilahirkan, mulai dari tubuh sampai bagaimana seharusnya dia bersikap. Serta
segala hal yang melekat dan melingkarinya. Bahkan otoritas apakah perempuan
memiliki hak atau layak masuk surga atau tidak, pun seakan ditentukan oleh jiwa
di luar dirinya. Mereka, para pelaku beragam bentuk kekerasan, bisa siapapun.
Bukan hanya sistem, masyarakat sekitar, namun juga keluarga, sesama perempuan,
bahkan perempuan itu sendiri terhadap tubuhnya.
“Wajah
Perempuan Retak”, demikian tema pentas teater yang sudah saya saksikan langsung
di Gelanggang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada Sabtu (30/09/2017).
Saya sendiri tidak memiliki pengetahuan dasar mengenai sebuah pentas teater
yang baik. Namun hal lain yang menarik dari pentas teater berdurasi 120 menit
ini, mampu menguak beragam persoalan perempuan, mulai dari persoalan pekerja
migran perempuan atau yang populer disebut TKW (Tenaga Kerja Wanita), nikah
siri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perdagangan manusia, hingga
Poligami.
Teater Sebagai Terapi
Menyaksikan
pentas teater “Wajah Perempuan Retak”, mengingatkan saya pada salah satu
gagasan bahwa teater merupakan salah satu cabang seni yang memiliki manfaat
tersendiri bagi pemulihan jiwa. Artikel ini pertama kali saya baca di Jurnal
Perempuan sekitar tahun 2007-an. Bagaimana para penyintas menjadikan pentas
teater bukan medium untuk lari dari kenyataan pahit, namun sebagai medium
pemulihan jiwa mereka. Namun bedanya, pentas teater ini menempatkan para
pemainnya sebagai manusia yang memerankan dirinya, sesuai realitas yang sedang
dihadapi. Lebih dari itu, mereka juga secara tidak langsung mempersuasi orang
lain untuk merasakan apa yang mereka rasakan, serta bagaimana seharusnya
menghadapi dan memperlakukan mereka.
Para pemeran teater “Wajah Perempuan Retak”
Nah, pentas teater yang
disutradari oleh seniman teater Eska Aly, D.Musyrifa, ini menurut saya mampu
membangkitkan empati kita, serta mengubah cara pandang bagaimana seharusnya
kita memperlakukan perempuan. Perempuan sebagai manusia, juga kita sebagai
manusia apapun jenis kelaminnya. Nilai tambah yang juga menjadi satu kesatuan
dari pentas ini adalah diperankan oleh 7 perempuan seniman profesional. Hal ini
bisa dibuktikan dari penampilan mereka. Mereka adalah aktris panggung teater
tahun delapan puluhan, yang tergabung dalam Teater WN (Wanita Ngunandika)
Yogyakarta. Tujuh perempuan ini adalah Nuri Isnaini, Yeni Eshape, Sita Ratu,
Rina Chaeri, Sitoresmi Prabuningrat, Labibah Zain, dan Arofah. Meskipun ada
satu tokoh laki-laki lengkap dengan kumis dan brewoknya, namun sejatinya
diperankan oleh seorang perempuan, yaitu Labibah Zain.
Tanpa
harus menghadirkan aktris muda dengan segala daya tariknya, pentas ini telah
berhasil memberi makna khusus dalam sebuah pertunjukan teater. Namun pandangan
awal saya ini saya sadari sangat keliru karena ternyata pentas ini bercerita
tentang terjalnya perjalanan hidup perempuan. Sebuah perjalanan ini dinarasikan
oleh perempuan yang usianya sudah tidak muda lagi, termasuk bercerita tentang
kisah masa kecilnya.
Menurut
sang sutradara, pertunjukan
“Wajah Perempuan Retak” merupakan pertunjukan yang memang disajikan dengan
konsep monolog, hubungan antara monolog satu dengan yang lain bersifat tematik,
mereka tidak dihubungkan oleh alur cerita. Namun, jujur
saja saya sebagai awam, sempat merasa kesulitan menilai keterhubugan ketujuh
perempuan di awal dan di pertengahan pentas. Selain itu, ada beberapa adegan
yang menunjukkan seakan para perempuan itu memiliki keterhubungan, atau menjadi
bagian dari salah satu adegan kisah perempuan lainnya.
Alur
cerita memang tidak saling terhubung, namun dalam beberapa adegannya, perempuan
lain turut masuk menjadi bagian dari kisah perempuan lainnya. Saya pun sempat
berpikir, mungkin sang sutradara memang sengaja menghadirkan perempuan lain
terlibat dalam beberapa adegan yang saling terhubung. Atau entah apa istilah
yang tepat untuk menggambarkan bahwa sang sutradara seakan ingin menghubungkan
beberapa adegan, meskipun dari sisi tema masing-masing ceritanya memang
berbeda. Apalagi dalam pertunjukan ini ada 6 perempuan yang lebih dahulu masuk dalam
1 panggung yang sama, di waktu yang sama selama 120 menit.
Namun
sekali lagi, semua argumen dalam tulisan ini tidak terlepas dari diri saya
sendiri yang masih awam soal dunia teater. Namun menurut saya, pertunjukan ini
tidak mengurangi tujuan awalnya, yaitu sebagai inspirasi yang mampu
mengubah cara pandang kita dengan memosisikan perempuan sebagai korban, serta
menantang kita untuk lebih menghargai dan memperlakukan perempuan secara setara
dan manusiawi.
Alimah
Fauzan, perempuan yang sangat jarang menonton teater. Cerita lain Alimah
lainnya dapat dibaca di blognya: alimahfauzan
No comments:
Post a Comment