Thursday, November 23, 2017

Wajah Perempuan Retak: Perempuan, ‘Surga’, dan Jalan Terjal Meraihnya?

Sepotong wajah mengikutiku ke manapun aku pergi dan di manapun aku berada. Aku mencuci piring di dapur, sepotong wajah menungguiku sampai aku selesai. Aku pergi berbelanja ke pasar, sepotong wajah menemaniku memilih barang-barang yang kubutuhkan. Aku bekerja di kantor, sepotong wajah memandangiku dari sebuah sudut. Aku pulang, bersih-bersih rumah, sepotong wajah berkelebatan di dalam rumah, seperti hendak membantu. Bahkan ketika aku di dalam kamar, menyatukan tubuh dengan tubuh suamiku, sepotong wajah itu menggantikan wajah suamiku. (Puisi Karya Aly D. Musyrifah)
Dikisahkan oleh Alimah Fauzan  
Bait puisi ini tidak sedang dibacakan dalam sebuah pentas baca puisi. Namun lebih dari itu, ia menjadi bagian dari salah satu naskah “Kolase dan 7 Jendela Kaca’ #5 Wajah Perempuan Retak”. Dalam pentas teater ini, satu per satu kisah perjalanan perempuan terkuak. Di setiap kalimat dan istilah yang dimunculkan, bukan sekadar merefleksikan daya tahan para perempuan di tengah budaya patriarki dan diskriminasi. Lebih dari itu, seakan ingin mengubah cara pandang kita bagaimana memosisikan perempuan sebagai korban. Bahkan sejak sebelum perempuan itu dilahirkan, sejumlah stigmatisasi dilekatkan padanya. Persoalan berlanjut setelah dia dilahirkan, mulai dari tubuh sampai bagaimana seharusnya dia bersikap. Serta segala hal yang melekat dan melingkarinya. Bahkan otoritas apakah perempuan memiliki hak atau layak masuk surga atau tidak, pun seakan ditentukan oleh jiwa di luar dirinya. Mereka, para pelaku beragam bentuk kekerasan, bisa siapapun. Bukan hanya sistem, masyarakat sekitar, namun juga keluarga, sesama perempuan, bahkan perempuan itu sendiri terhadap tubuhnya.
“Wajah Perempuan Retak”, demikian tema pentas teater yang sudah saya saksikan langsung di Gelanggang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada Sabtu (30/09/2017). Saya sendiri tidak memiliki pengetahuan dasar mengenai sebuah pentas teater yang baik. Namun hal lain yang menarik dari pentas teater berdurasi 120 menit ini, mampu menguak beragam persoalan perempuan, mulai dari persoalan pekerja migran perempuan atau yang populer disebut TKW (Tenaga Kerja Wanita), nikah siri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perdagangan manusia, hingga Poligami.
Teater Sebagai Terapi
Menyaksikan pentas teater “Wajah Perempuan Retak”, mengingatkan saya pada salah satu gagasan bahwa teater merupakan salah satu cabang seni yang memiliki manfaat tersendiri bagi pemulihan jiwa. Artikel ini pertama kali saya baca di Jurnal Perempuan sekitar tahun 2007-an. Bagaimana para penyintas menjadikan pentas teater bukan medium untuk lari dari kenyataan pahit, namun sebagai medium pemulihan jiwa mereka. Namun bedanya, pentas teater ini menempatkan para pemainnya sebagai manusia yang memerankan dirinya, sesuai realitas yang sedang dihadapi. Lebih dari itu, mereka juga secara tidak langsung mempersuasi orang lain untuk merasakan apa yang mereka rasakan, serta bagaimana seharusnya menghadapi dan memperlakukan mereka.
 
Para pemeran teater “Wajah Perempuan Retak”

Nah, pentas teater yang disutradari oleh seniman teater Eska Aly, D.Musyrifa, ini menurut saya mampu membangkitkan empati kita, serta mengubah cara pandang bagaimana seharusnya kita memperlakukan perempuan. Perempuan sebagai manusia, juga kita sebagai manusia apapun jenis kelaminnya. Nilai tambah yang juga menjadi satu kesatuan dari pentas ini adalah diperankan oleh 7 perempuan seniman profesional. Hal ini bisa dibuktikan dari penampilan mereka. Mereka adalah aktris panggung teater tahun delapan puluhan, yang tergabung dalam Teater WN (Wanita Ngunandika) Yogyakarta. Tujuh perempuan ini adalah Nuri Isnaini, Yeni Eshape, Sita Ratu, Rina Chaeri, Sitoresmi Prabuningrat, Labibah Zain, dan Arofah. Meskipun ada satu tokoh laki-laki lengkap dengan kumis dan brewoknya, namun sejatinya diperankan oleh seorang perempuan, yaitu Labibah Zain.
Tanpa harus menghadirkan aktris muda dengan segala daya tariknya, pentas ini telah berhasil memberi makna khusus dalam sebuah pertunjukan teater. Namun pandangan awal saya ini saya sadari sangat keliru karena ternyata pentas ini bercerita tentang terjalnya perjalanan hidup perempuan. Sebuah perjalanan ini dinarasikan oleh perempuan yang usianya sudah tidak muda lagi, termasuk bercerita tentang kisah masa kecilnya.
Menurut sang sutradara, pertunjukan “Wajah Perempuan Retak” merupakan pertunjukan yang memang disajikan dengan konsep monolog, hubungan antara monolog satu dengan yang lain bersifat tematik, mereka tidak dihubungkan oleh alur cerita. Namun, jujur saja saya sebagai awam, sempat merasa kesulitan menilai keterhubugan ketujuh perempuan di awal dan di pertengahan pentas. Selain itu, ada beberapa adegan yang menunjukkan seakan para perempuan itu memiliki keterhubungan, atau menjadi bagian dari salah satu adegan kisah perempuan lainnya.
Alur cerita memang tidak saling terhubung, namun dalam beberapa adegannya, perempuan lain turut masuk menjadi bagian dari kisah perempuan lainnya. Saya pun sempat berpikir, mungkin sang sutradara memang sengaja menghadirkan perempuan lain terlibat dalam beberapa adegan yang saling terhubung. Atau entah apa istilah yang tepat untuk menggambarkan bahwa sang sutradara seakan ingin menghubungkan beberapa adegan, meskipun dari sisi tema masing-masing ceritanya memang berbeda. Apalagi dalam pertunjukan ini ada 6 perempuan yang lebih dahulu masuk dalam 1 panggung yang sama, di waktu yang sama selama 120 menit.
Namun sekali lagi, semua argumen dalam tulisan ini tidak terlepas dari diri saya sendiri yang masih awam soal dunia teater. Namun menurut saya, pertunjukan ini tidak mengurangi tujuan awalnya, yaitu sebagai  inspirasi yang mampu mengubah cara pandang kita dengan memosisikan perempuan sebagai korban, serta menantang kita untuk lebih menghargai dan memperlakukan perempuan secara setara dan manusiawi.
Alimah Fauzan, perempuan yang sangat jarang menonton teater. Cerita lain Alimah lainnya dapat dibaca di blognya: alimahfauzan


No comments: