Perubahan dan keberagaman julukan tertentu kerap kita dengar. Namun mengapa dan bagaimana julukan itu berubah, terkadang kita tidak begitu peduli. Seperti untuk istilah “betina”, “perempuan” dan “wanita”. Ada yang berpikir perubahan istilah ini terjadi begitu saja dan wajar. Sebaliknya, ada juga yang berpikir perubahan ini sangat ideologis dan sejumlah alasan penting lainnya.Dikisahkan oleh Alimah Fauzan
Tentang penyebutan istilah
wanita maupun perempuan, saya juga kerap kali mendapat pertanyaan “mengapa”.
Mengapa saya lebih memilih istilah perempuan dari pada wanita. Pertanyaan ini
pernah dilontarkan salah seorang teman, namun buru-buru dijawab teman “Alasannya
sangat ideologis,” demikian jawab teman saya yang merasa sudah paham apa yang
saya pikirkan. Kebiasaan saya menyebut istilah perempuan juga memengaruhi para
perempuan di desa dampingan program yang sedang saya kelola. Lucunya, saat
acara musyawarah desa (Musdes), para ibu itu akan serempak mengoreksi istilah
“wanita” yang dilontarkan para bapak dengan istilah “perempuan”.
Saya sendiri
lebih suka menyebut ini sebagai keberagaman istilah, bukan perubahan. Karena
ketika disebut berubah, maka memang di muka bumi Indonesia ini hanya ada satu
istilah. Namun kenyataannya, baik istilah perempuan maupun wanita masih tetap
digunakan. Saya sendiri lebih menyukai istilah perempuan bukan berarti istilah
wanita tidak tepat. Namun pilihan saya memiliki alasan mengapa saya harus
menggunakan istilah tersebut. Ketika sudah yakin dengan istilah perempuan, maka
saya membiasakan mengucapkannya. Karena sudah kebiasaan, maka dimanapun saya
akan secara refleks menggunakan istilah “perempuan” dari pada “wanita”.
Di sini saya ingin
berbagi pengetahuan tentang istilah betina, wanita, dan perempuan. Ulasan ini
juga bukan untuk menerangkan apakah terjadi perubahan atau tidak, namun lebih
kepada tren penyebutan istilah-istilah itu biasanya ada di ruang mana dan oleh
siapa? Sebenarnya sudah banyak sekali artikel maupun karya ilmiah tentang ini.
Mulai dari artikel yang sangat sangat singkat dan renyah, hingga hasil
penelitian. Saya di sini mencoba memaparkan lagi apa yang sudah pernah ditulis,
terutama di media online. Dalam pencarian mesin google, karya ilmiah Sudarwati
dan D. Jupriono sepertinya paling sering dijadikan rujukan, tulisannya berjudul “Betina, Wanita, dan
Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik”. Dari
begitu banyak artikel, karya ilmiah dua dosen ini paling sering dikutip atau
bahkan dipajang di blog-blog maupun media online komunitas.
Sayangnya,
saya belum menemukan keterangan tahun berapa karya ilmiah ini ditulis, termasuk
sumber pertama kali tulisan ini diangkat. Karena dalam beberapa keterangan
contoh yang dipakai penulis, lembaga-lembaga di Indonesia masih banyak
menggunakan istilah “wanita” daripada perempuan. Berbeda dengan artikel Mariana
Amiruddin, salah satu feminis Indonesia yang saat ini menduduki Komisioner
Komnas Perempuan, serta Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. Tulisannnya yang
berjudul “Revolusi Bahasa dalam Politik Gender”, diangkat Majalah Tempo
pada 12 Januari 2015. Mengetahui siapa penulisnya dan ditulis tahun berapa,
tentu saja saya bisa membedakan apa yang ingin diungkapkan dua tulisan
tersebut. Dan tentu saja berbeda baik dari gaya menulis maupun fenomena yang
diulas. Tulisan pertama karya ilmiah yang kaya akan referensi. Sementara
tulisan kedua, karya ilmiah populer singkat dengan referensi namun disebutkan
sesuai dengan kebutuhan artikelnya.
Sementara,
baru tulisan tersebut yang ingin saya jadikan referensi dalam tulisan ini. Saya
yakin masih banyak tulisan atau referensi selain dua tulisan ini yang bisa jadi
lebih lengkap. Oke, mari kita mulai dari istilah Betina, Wanita, lalu
Perempuan. Pengetahuan ini berdasarkan karya ilmiah yang ditulis Sudarwati dan
D. Jupriono. Lalu, setelah penjelasan masing-masing arti istilah tersebut, kita
akan mengulas kondisi saat ini terkait penyebutan istilah wanita dan perempuan.
Mari kita mulai dengan istilah “BETINA” dengan klik “Apa Arti
Betina?”.
Keterangan
Penulis :
*Alimah Fauzan adalah gender specialist Institute of
Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest)
Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment