Thursday, November 23, 2017

Agusta Kopeuwe: Pejuang Pemberdayaan Perempuan dari Sentani

Agusta Kopauwe menunjukkan hasil kerajinan produksi kaum perempuan Papua (dok. villagerspost.com/M. Agung Riyadi)
Lahir dan besar dari keluarga kepala suku terpandang di kawasan Danau Sentani Papua, tak membuat hidup Agusta Kopeuwe (48) bergelimang fasilitas dan kemudahan. Ayahnya yang seorang pekerja keras dan mengerti akan pentingnya nilai pendidikan, justru menggembleng Agusta untuk bisa hidup mandiri. Sebagai seorang perempuan, Agusta–bersama seorang kakak perempuannya– cukup beruntung bisa menikmati “kemewahan” berupa kesempatan menempuh pendidikan tinggi.
“Ayah saya berpikir, kaum perempuan dalam budaya kami tidak mendapatkan bagian warisan dari orang tua, karena kalau nanti menikah pun akan mendapatkan bagian dari harta warisan suami, karena itu ayah saya membekali kami dengan pendidikan yang tinggi agar bisa mandiri,” kisah Agusta, saat ditemui Villagerspost.com, di sebuah acara yang dihelat Oxfam beberapa waktu lalu.
Lewat kesempatan mengenyam pendidikan tinggi itu pulalah, pikiran Agusta terbuka akan nasib perempuan khususnya di Papua, yang selama ini tidak beruntung dan selalu termajinalkan dalam pembangunan. “Saya berpikir, pembangunan ini seringkali malah merugikan kaum perempuan,” ujarnya.
Dampak pembangunan terhadap perempuan
Salah satu yang diperhatikan dari dampak pembangunan terhadap perempuan ini adalah yang terjadi di lingkungan sekitar tempat Agusta tinggal di kawasan Danau Sentani, Jayapura. Dahulu, kata Agusta, kaum perempuan di desanya cukup mudah menjangkau segala sumber daya pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Saat hutan-hutan masih lebat, dan danau Sentani masih belum tersentuh pembangunan bandara, kaum perempuan tidak perlu pergi terlalu jauh untuk mendapatkan makanan baik umbi-umbian, pisang, maupun ikan.
Selain untuk makan, sumber-sumber pangan itu juga bisa memberikan penghasilan tambahan dengan cara dijual ke pasar. Sayangnya, ketika derap roda pembangunan mulai menyentuh kawasan Papua, khususnya Sentani, pemerintah seolah lupa di situ ada kaum perempuan yang juga perlu diperhatikan kesejahteraannya.
Alhasil derap pembangunan malah semakin memarjinalkan kaum perempuan Papua, khususnya di Sentani. Ketika hutan dibuka untuk pertambangan dan juga perluasan bandara, kekayaan alam yang dulu menjadi sumber penghidupan yang mudah didapat kaum perempuan untuk menghidupi keluarga, kini semakin sulit ditemukan. Mencari sumber pangan seperti umbi-umbian, sagu, pisang dan juga ikan semakin sulit karena pembangunan ternyata ikut merusak kondisi alam.
Disinilah Agusta melihat, perempuan akan menanggung beban paling berat jika pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan nasibnya. “Perkembangan semakin cepat, justru perempuan semakin lambat, semakin tertinggal,” ujarnya.
Pertumbuhan kota yang semakin cepat, kata Agusta, juga semakin mempercepat penderitaan kaum perempuan. “Banyak aset yang tadinya untungkan kaum perempuan sudah hilang ditelan pembangunan, hutan sagu, kebun pisang, semua hilang dibabat untuk pembangunan,” ujarnya.
Melihat gerak perkembangan pembangunan yang tidak menguntungkan bagi kaum perempuan itulah yang membuat Agusta bertekad untuk bisa berjuang memberdayakan kaum perempuan khususnya di Papua. Namun jalan Agusta untuk menuju cita-citanya itu, ternyata harus menemui jalan yang panjang dan berliku.
Setamatnya ari sekolah tinggi keguruan di Jayapura pada tahun 1992, Agusta bekerja sebagai seorang guru SMA di Wamena. Di sekolah itu, Agusta mengajar mata pelajaran bahasa Inggris. Untuk mengisi waktu dan menambah penghasilan, di saat musim liburan tiba, Agusta menyambi kerja sebagai tour guide.
Di tahun 1996, Agusta kemudian berpindah tugas ke Manokwari. Dua tahun mengajar di sana, tepatnya di tahun 1998, Agusta berkesempatan untuk mengikuti pendidikan terkait pemberdayaan perempuan di kota Wupertal, Jerman. Selama setahun, bersama guru-guru lainnya dari berbagai negara seperti Rwanda, Kongo dan beberapa negara lainnya di Asia dan Afrika, Agusta menimba pengalaman di soal berbagai masalah perempuan termasuk soal budaya.
Dari situlah, Agusta mendapatkan pemahaman, bahwa secara universal, perempuan di seluruh dunia kerap mendapatkan tekanan secara budaya. “Di Papua misalnya, sering terlihat kalau ada suami-istri ke pasar, sang suami enak lenggang kangkung sambil pegang payung, sementara istrinya susah payah membawa barang, bawa petatas (ubi), dan barang lainnya, kadang jalan sambil terbungkuk-bungkuk. Sama-sama orang Papua, kaum lelaki enak sekali,” kata Agusta.
Kisah-kisah semacam ini, kata dia, juga banyak dia dengar terjadi pada budaya lain di negara lain. “Perempuan dipukul, jadi korban kekerasan,” katanya.

Sumber: Villagerpost


No comments: