Lahir dan besar dari
keluarga kepala suku terpandang di kawasan Danau Sentani Papua, tak membuat
hidup Agusta Kopeuwe (48) bergelimang fasilitas dan kemudahan. Ayahnya yang
seorang pekerja keras dan mengerti akan pentingnya nilai pendidikan, justru
menggembleng Agusta untuk bisa hidup mandiri. Sebagai seorang perempuan,
Agusta–bersama seorang kakak perempuannya– cukup beruntung bisa menikmati
“kemewahan” berupa kesempatan menempuh pendidikan tinggi.
“Ayah saya berpikir,
kaum perempuan dalam budaya kami tidak mendapatkan bagian warisan dari orang
tua, karena kalau nanti menikah pun akan mendapatkan bagian dari harta warisan
suami, karena itu ayah saya membekali kami dengan pendidikan yang tinggi agar
bisa mandiri,” kisah Agusta, saat ditemui Villagerspost.com, di
sebuah acara yang dihelat Oxfam beberapa waktu lalu.
Lewat kesempatan
mengenyam pendidikan tinggi itu pulalah, pikiran Agusta terbuka akan nasib
perempuan khususnya di Papua, yang selama ini tidak beruntung dan selalu
termajinalkan dalam pembangunan. “Saya berpikir, pembangunan ini seringkali
malah merugikan kaum perempuan,” ujarnya.
Dampak pembangunan terhadap perempuan
Salah satu yang
diperhatikan dari dampak pembangunan terhadap perempuan ini adalah yang terjadi
di lingkungan sekitar tempat Agusta tinggal di kawasan Danau Sentani, Jayapura.
Dahulu, kata Agusta, kaum perempuan di desanya cukup mudah menjangkau segala sumber
daya pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Saat hutan-hutan masih lebat,
dan danau Sentani masih belum tersentuh pembangunan bandara, kaum perempuan
tidak perlu pergi terlalu jauh untuk mendapatkan makanan baik umbi-umbian,
pisang, maupun ikan.
Selain untuk makan,
sumber-sumber pangan itu juga bisa memberikan penghasilan tambahan dengan cara
dijual ke pasar. Sayangnya, ketika derap roda pembangunan mulai menyentuh
kawasan Papua, khususnya Sentani, pemerintah seolah lupa di situ ada kaum
perempuan yang juga perlu diperhatikan kesejahteraannya.
Alhasil derap
pembangunan malah semakin memarjinalkan kaum perempuan Papua, khususnya di
Sentani. Ketika hutan dibuka untuk pertambangan dan juga perluasan bandara,
kekayaan alam yang dulu menjadi sumber penghidupan yang mudah didapat kaum
perempuan untuk menghidupi keluarga, kini semakin sulit ditemukan. Mencari
sumber pangan seperti umbi-umbian, sagu, pisang dan juga ikan semakin sulit
karena pembangunan ternyata ikut merusak kondisi alam.
Disinilah Agusta melihat,
perempuan akan menanggung beban paling berat jika pembangunan dilakukan tanpa
memperhatikan nasibnya. “Perkembangan semakin cepat, justru perempuan semakin
lambat, semakin tertinggal,” ujarnya.
Pertumbuhan kota yang
semakin cepat, kata Agusta, juga semakin mempercepat penderitaan kaum
perempuan. “Banyak aset yang tadinya untungkan kaum perempuan sudah hilang
ditelan pembangunan, hutan sagu, kebun pisang, semua hilang dibabat untuk
pembangunan,” ujarnya.
Melihat gerak
perkembangan pembangunan yang tidak menguntungkan bagi kaum perempuan itulah
yang membuat Agusta bertekad untuk bisa berjuang memberdayakan kaum perempuan
khususnya di Papua. Namun jalan Agusta untuk menuju cita-citanya itu, ternyata
harus menemui jalan yang panjang dan berliku.
Setamatnya ari sekolah
tinggi keguruan di Jayapura pada tahun 1992, Agusta bekerja sebagai seorang
guru SMA di Wamena. Di sekolah itu, Agusta mengajar mata pelajaran bahasa
Inggris. Untuk mengisi waktu dan menambah penghasilan, di saat musim liburan
tiba, Agusta menyambi kerja sebagai tour guide.
Di tahun 1996, Agusta
kemudian berpindah tugas ke Manokwari. Dua tahun mengajar di sana, tepatnya di
tahun 1998, Agusta berkesempatan untuk mengikuti pendidikan terkait
pemberdayaan perempuan di kota Wupertal, Jerman. Selama setahun, bersama
guru-guru lainnya dari berbagai negara seperti Rwanda, Kongo dan beberapa
negara lainnya di Asia dan Afrika, Agusta menimba pengalaman di soal berbagai
masalah perempuan termasuk soal budaya.
Dari situlah, Agusta
mendapatkan pemahaman, bahwa secara universal, perempuan di seluruh dunia kerap
mendapatkan tekanan secara budaya. “Di Papua misalnya, sering terlihat kalau
ada suami-istri ke pasar, sang suami enak lenggang kangkung sambil pegang
payung, sementara istrinya susah payah membawa barang, bawa petatas (ubi), dan
barang lainnya, kadang jalan sambil terbungkuk-bungkuk. Sama-sama orang Papua,
kaum lelaki enak sekali,” kata Agusta.
Kisah-kisah semacam ini,
kata dia, juga banyak dia dengar terjadi pada budaya lain di negara lain.
“Perempuan dipukul, jadi korban kekerasan,” katanya.
Sumber: Villagerpost
No comments:
Post a Comment