Saya tidak takut menceritakan tentang perkosaan yang pernah saya alami. Saya pikir ini sangat penting untuk dibicarakan. Karena para perempuan yang tidak berbicara, mereka tidak mau percaya bahwa peristiwa itu telah terjadi. Mereka takut untuk menyebutkan istilah “perkosaan”. Jika mereka mengatakan kata ‘perkosaan’, mereka terguncang dan pingsan. Saya tidak berpikir semua orang bisa [melaporkannya], tidak semua orang memiliki sistem pendukung. Tapi saya mengatakan bahwa semua orang harus berbicara kepada orang-orang yang dapat memberi mereka cinta, karena cinta menyembuhkan segalanya. (Linor Abargail, Miss World 1998).
Oleh Alimah Fauzan*
Untuk
seorang perempuan korban perkosaan, sosok Linor Abargail, sungguh sangat
menginspirasi para sintas (survivor) perkosaan di seluruh dunia. Perkosaan atau
kekerasan seksual adalah salah satu hal terburuk dan terberat yang dapat
dialami manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Selain luka fisik, korban
pemerkosaan membawa luka batin yang membutuhkan waktu untuk sembuh. Kondisi,
dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban perkosaan berbeda satu sama
lain.
Linor
Abargail adalah Miss World 1998. 7 pekan sebelum ia mengikuti ajang kontes
kecantikan, ia mengalami peristiwa tragis dan traumatik. Saat itu usianya 18
tahun dan mewakili negaranya, Israel. Ketika namanya diumumkan, dia berdiri di
atas panggung, terisak-isak. Namun air mata yang mengalir ke pipinya bukan
sekadar air mata kebahagiaan laiknya seorang perempuan yang baru saja
dinobatkan sebagai Miss World. Air mata itu dipenuhi dengan sejumlah kejutan,
trauma dan kebingungan. Karena pada enam minggu sebelumnya, Abargil telah
diperkosa di bawah sebuah todongan pisau oleh sebuah agen perjalanannya, Uri
Shlomo Nur, yang menculik dan menyerangnya di Milan. Mereka berada di mobil
untuk sebuah perjalanan dari Italia—di mana ia menjadi seorang model—ke Israel,
kampung halamannya. Sampai akhirnya pelaku mengambil jalan terpencil, mulut
Abargil dibungkam dengan selotip dan menutup kepalanya dengan kantong plastik.
Saat itu Abargail berulang kali diperkosa.
Memilih Bangkit dan Menyeret
Pelaku ke Pengadilan
Seperti
para korban perkosaan ataupun kekerasan seksual pada umumnya, Hati Abargil pun
hancur. Dari pengalaman Abargail, tentu saja saya hanya mampu membayangkan
trauma pasca perkosaan. Tentang bagaimana ia merasa ketakutan, cemas, panik,
shock, atau bahkan mungkin merasa bersalah seperti yang dirasakan oleh para
korban perkosaan ataupun kekerasan seksual lainnya, dan hal itu sangat wajar.
Luka yang mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup.
Banyak korban yang merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup
mereka sendiri. Hal ini juga dapat membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang
terjadi pada diri mereka, meski cerita mereka sangat dibutuhkan untuk menindak
pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan situasi rumit tersebut akan
membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.
Saat
itu Abargail berpikir bahwa ia mungkin akan mati. Tapi ia berhasil meyakinkan
dirinya untuk tetap bangkit dan berjuang untuk hidupnya. Dengan segala sisa
kekuatannya, ia bahkan segera mampu melaporkan ke pihak berwenang. Polisi
Italia membiarkannya pergi karena kurangnya bukti. Tapi ketika dia kembali
Israel, pihak berwenang mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Nur.
Kendati demikian, dia tetap kembali ke Israel dan harus melalui proses
pengadilan yang cukup panjang, hingga pelaku perkosaan dijatuhi hukuman 16
tahun penjara.
Salah
satu sosok yang terus memotivasinya adalah ibunya. Dukungan sang Ibu akhirnya
berhasil menguatkan Abargail untuk tetap melaporkan kejadian tersebut, dan
tetap maju ke kontes kecantikan mewakili negaranya dan pada akhirnya menang.
Kini, Abargil mencoba untuk menguatkan jiwa sesama korban kekerasan seksual,
untuk berani bicara. Melawan balik dengan melaporkan pelaku.
Kisah Hidupnya dalam Film
Dokumenter “Brave Miss World”
Perjalanan
Abargil dari ratu kecantikan menjadi aktivis dikisahkan dalam film dokumenter
yang jadi salah satu nominasi untuk meraih penghargaan Emmy 2014, “Brave Miss
World”. Adalah sang ibu yang menguatkannya dengan berkata, “Jangan takut, itu
bukan kesalahanmu. Ayo lapor polisi, jangan mandi dulu”.
Dalam
sejumlah media, Cecilia Peck, salah satu produser film dokumenter tersebut,
mengatakan bahwa kata-kata ibunda Abargail yang kemudian membangkitkan hidupnya
kembali. Kata-kata itu memberinya keberanian untuk melaporkan tindakan bejat
itu. Setelah pemerkosanya di hukum pada 1999, Abargil berhenti bicara terbuka
tentang trauma yang ia alami, dan mundur dari sorotan publik. Namun, pada 2008,
ia menguatkan jiwanya, untuk kembali berteriak lantang melawan kekerasan
seksual. Ia juga mendorong korban kekerasan seksual lain untuk berbagi cerita.
Ia bahkan mempersilakan kisah
hidupnya dijadikan film dokumenter. Kru “Brave Miss World” mengikuti perjalanan
Abargil dari Afrika Selatan ke Eropa, dimana ia bicara dengan para penyintas
(survivor) kekerasan seksual, ikut dalam demonstrasi di kampus-kampus Amerika,
ke lorong-lorong Parlemen Israel, hingga napak tilas ke lokasi di mana serangan
itu terjadi.
Film ini adalah tentang keberanian
untuk memperjuangkan keadilan dan agar para korban pemerkosaan dan kekerasan
berani bicara. Ini tentang membentuk seseorang menjadi aktivis yang berjuang
demi mendapatkan keadilannya sendiri dan orang lain. Film ini dinominasikan
untuk meraih 2014
Emmy for Exceptional Merit in
Documentary Filmmaking, dokumenter tersebut akan ditayangkan secara luas.
Menurut Cecilia Peck, tak mudah
untuk mengangkat tema tentang hal yang dianggap tabu. Butuh waktu 5 tahun untuk
menyelesaikan film tersebut. Butuh waktu 11 tahun agar Linor Abargil siap
bicara tentang pemerkosaan yang dialaminya, setelah masa pemulihan trauma yang
panjang. Waktu sepanjang itu tepat setelah dia memenangkan Miss World serta
bertahun-tahun mengikuti sidang pengadilan, dan menenangkan dirinya dan
akhirnya pulih.
“Brave Miss World” Diputar dan
Didiskusikan di Indonesia
Di Indonesia, pemutaran film
dokumenter ini telah diputar di Indonesia pada Rabu, 23 Nov pukul 13 WIB di
@america Pacific Place, Jakarta. Pemutaran film dilanjutkan dengan diskusi
bersama wartawan dan penulis buku tentang isu-isu perempuan dan keberagaman Alex
Junaidi (The Jakarta Post), Devi Sumarno (founder Rumah Ruth), Cecilia Peck
(produser Brave Miss World, melalui Skype) dan Linor Abargail (sintas, aktivis,
telah direkam sebelumnya). Acara ini gratis, terbuka untuk umum,
diselenggarakan dalam rangka Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan 25 November.
Kegiatan ini merupakan inisiatif dari empat alumni International Visitor
Leadership Program (IVLP) yaitu Linda Tangdialla, Riri Artakusumah, Maria
Yuliana dan Monique Rijkers dan mendapat dukungan dana dari Kedubes Amerika
setelah melalui proses seleksi.
==================================================== ============
*Keterangan Penulis: Alimah Fauzan adalah gender
specialist di Institute for Education Development, Social, Religious, and
Cultural Studies (Infest Yogyakarta). Tulisan ini sebagai salah satu bentuk
kampanye “Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan 25 November 2016”. Sumber
tulisan: telegraphdan
facebook Fitriah
Artakusuma, sebagai salah satu inisiator pemutaran film “Brave
Miss World” di Jakarta.
No comments:
Post a Comment