Thursday, November 23, 2017

Kisah Inspiratif Miss World Bangkit dan Berjuang dari Korban Perkosaan Menjadi Penyintas

Saya tidak takut menceritakan tentang perkosaan yang pernah saya alami. Saya pikir ini sangat penting untuk dibicarakan. Karena para perempuan yang tidak berbicara, mereka tidak mau percaya bahwa peristiwa itu telah terjadi. Mereka takut untuk menyebutkan istilah “perkosaan”. Jika mereka mengatakan kata ‘perkosaan’, mereka terguncang dan pingsan. Saya tidak berpikir semua orang bisa [melaporkannya], tidak semua orang memiliki sistem pendukung. Tapi saya mengatakan bahwa semua orang harus berbicara kepada orang-orang yang dapat memberi mereka cinta, karena cinta menyembuhkan segalanya. (Linor Abargail, Miss World 1998).
Oleh Alimah Fauzan*  
Untuk seorang perempuan korban perkosaan, sosok Linor Abargail, sungguh sangat menginspirasi para sintas (survivor) perkosaan di seluruh dunia. Perkosaan atau kekerasan seksual adalah salah satu hal terburuk dan terberat yang dapat dialami manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Selain luka fisik, korban pemerkosaan membawa luka batin yang membutuhkan waktu untuk sembuh. Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban perkosaan berbeda satu sama lain.
Linor Abargail adalah Miss World 1998. 7 pekan sebelum ia mengikuti ajang kontes kecantikan, ia mengalami peristiwa tragis dan traumatik. Saat itu usianya 18 tahun dan mewakili negaranya, Israel. Ketika namanya diumumkan, dia berdiri di atas panggung, terisak-isak. Namun air mata yang mengalir ke pipinya bukan sekadar air mata kebahagiaan laiknya seorang perempuan yang baru saja dinobatkan sebagai Miss World. Air mata itu dipenuhi dengan sejumlah kejutan, trauma dan kebingungan. Karena pada enam minggu sebelumnya, Abargil telah diperkosa di bawah sebuah todongan pisau oleh sebuah agen perjalanannya, Uri Shlomo Nur, yang menculik dan menyerangnya di Milan. Mereka berada di mobil untuk sebuah perjalanan dari Italia—di mana ia menjadi seorang model—ke Israel, kampung halamannya. Sampai akhirnya pelaku mengambil jalan terpencil, mulut Abargil dibungkam dengan selotip dan menutup kepalanya dengan kantong plastik. Saat itu Abargail berulang kali diperkosa.

 potechi-png
Memilih Bangkit dan Menyeret Pelaku ke Pengadilan
Seperti para korban perkosaan ataupun kekerasan seksual pada umumnya, Hati Abargil pun hancur. Dari pengalaman Abargail, tentu saja saya hanya mampu membayangkan trauma pasca perkosaan. Tentang bagaimana ia merasa ketakutan, cemas, panik, shock, atau bahkan mungkin merasa bersalah seperti yang dirasakan oleh para korban perkosaan ataupun kekerasan seksual lainnya, dan hal itu sangat wajar. Luka yang mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.
Saat itu Abargail berpikir bahwa ia mungkin akan mati. Tapi ia berhasil meyakinkan dirinya untuk tetap bangkit dan berjuang untuk hidupnya. Dengan segala sisa kekuatannya, ia bahkan segera mampu melaporkan ke pihak berwenang. Polisi Italia membiarkannya pergi karena kurangnya bukti. Tapi ketika dia kembali Israel, pihak berwenang mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Nur. Kendati demikian, dia tetap kembali ke Israel dan harus melalui proses pengadilan yang cukup panjang, hingga pelaku perkosaan dijatuhi hukuman 16 tahun penjara.
Salah satu sosok yang terus memotivasinya adalah ibunya. Dukungan sang Ibu akhirnya berhasil menguatkan Abargail untuk tetap melaporkan kejadian tersebut, dan tetap maju ke kontes kecantikan mewakili negaranya dan pada akhirnya menang. Kini, Abargil mencoba untuk menguatkan jiwa sesama korban kekerasan seksual, untuk berani bicara. Melawan balik dengan melaporkan pelaku.
Kisah Hidupnya dalam Film Dokumenter “Brave Miss World”
Perjalanan Abargil dari ratu kecantikan menjadi aktivis dikisahkan dalam film dokumenter yang jadi salah satu nominasi untuk meraih penghargaan Emmy 2014, “Brave Miss World”. Adalah sang ibu yang menguatkannya dengan berkata, “Jangan takut, itu bukan kesalahanmu. Ayo lapor polisi, jangan mandi dulu”.
Dalam sejumlah media, Cecilia Peck, salah satu produser film dokumenter tersebut, mengatakan bahwa kata-kata ibunda Abargail yang kemudian membangkitkan hidupnya kembali. Kata-kata itu memberinya keberanian untuk melaporkan tindakan bejat itu. Setelah pemerkosanya di hukum pada 1999, Abargil berhenti bicara terbuka tentang trauma yang ia alami, dan mundur dari sorotan publik. Namun, pada 2008, ia menguatkan jiwanya, untuk kembali berteriak lantang melawan kekerasan seksual. Ia juga mendorong korban kekerasan seksual lain untuk berbagi cerita.
 15178969_10210930759206555_358811864611554237_n
Ia bahkan mempersilakan kisah hidupnya dijadikan film dokumenter. Kru “Brave Miss World” mengikuti perjalanan Abargil dari Afrika Selatan ke Eropa, dimana ia bicara dengan para penyintas (survivor) kekerasan seksual, ikut dalam demonstrasi di kampus-kampus Amerika, ke lorong-lorong Parlemen Israel, hingga napak tilas ke lokasi di mana serangan itu terjadi.
Film ini adalah tentang keberanian untuk memperjuangkan keadilan dan agar para korban pemerkosaan dan kekerasan berani bicara. Ini tentang membentuk seseorang menjadi aktivis yang berjuang demi mendapatkan keadilannya sendiri dan orang lain. Film ini dinominasikan untuk meraih 2014
Emmy for Exceptional Merit in Documentary Filmmaking, dokumenter tersebut akan ditayangkan secara luas.
Menurut Cecilia Peck, tak mudah untuk mengangkat tema tentang hal yang dianggap tabu. Butuh waktu 5 tahun untuk menyelesaikan film tersebut. Butuh waktu 11 tahun agar Linor Abargil siap bicara tentang pemerkosaan yang dialaminya, setelah masa pemulihan trauma yang panjang. Waktu sepanjang itu tepat setelah dia memenangkan Miss World serta bertahun-tahun mengikuti sidang pengadilan, dan menenangkan dirinya dan akhirnya pulih.
“Brave Miss World” Diputar dan Didiskusikan di Indonesia
Di Indonesia, pemutaran film dokumenter ini telah diputar di Indonesia pada Rabu, 23 Nov pukul 13 WIB di @america Pacific Place, Jakarta. Pemutaran film dilanjutkan dengan diskusi bersama wartawan dan penulis buku tentang isu-isu perempuan dan keberagaman Alex Junaidi (The Jakarta Post), Devi Sumarno (founder Rumah Ruth), Cecilia Peck (produser Brave Miss World, melalui Skype) dan Linor Abargail (sintas, aktivis, telah direkam sebelumnya). Acara ini gratis, terbuka untuk umum, diselenggarakan dalam rangka Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan 25 November. Kegiatan ini merupakan inisiatif dari empat alumni International Visitor Leadership Program (IVLP) yaitu Linda Tangdialla, Riri Artakusumah, Maria Yuliana dan Monique Rijkers dan mendapat dukungan dana dari Kedubes Amerika setelah melalui proses seleksi.
 15095496_10210923192457391_8857605000048434367_n
Panitia berharap pemutaran film dan diskusi dapat menginspirasi para sintas, mengedukasi keluarga dan masyarakat serta dapat meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. Menurut Fitriah Artakusumah, salah satu inisiator pemutaran film dokumenter tersebut, selain di Jakarta juga kemungkinan akan diputar di Yogyakarta. Semoga!!!
================================================================
*Keterangan Penulis: Alimah Fauzan adalah gender specialist di Institute for Education Development, Social, Religious, and Cultural Studies (Infest Yogyakarta). Tulisan ini sebagai salah satu bentuk kampanye “Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan 25 November 2016”. Sumber tulisan: telegraphdan facebook Fitriah Artakusuma, sebagai salah satu inisiator pemutaran film “Brave Miss World” di Jakarta.


No comments: