Tuesday, May 15, 2018

Ini Dia Dua Pilot Perempuan Papua, Inspirator Kartini-kartini Milenial

https://www.tagar.id/Asset/uploads/922001-carolina-cory-kayame.jpeg
Carolina Cory Kayame perempuan pilot asal Papua. (Foto: Istimewa)

Jakarta - Banyak Kartini di Papua, dua di antaranya adalah Carolina Cory Kayame dan Octaviyanti Blandina Ronsumbre.
Mereka sama-sama menjadi penerbang, inspirator kebangkitan Kartini-kartini milenial di bumi cenderawasih.
Carolina Cory Kayame, Awalnya Takut Ketinggian

 Caroline Cory Kayame
Caroline Cory Kayame perempuan pilot asala Papua 

Ia meyakini saat dilahirkan manusia memiliki kecerdasan yang diberikan sang pencipta, tinggal bagaimana manusia mengolah kecerdasan tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan sesama. Terkadang orang merasa bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan, sehingga niat untuk berusaha menjadi tertahan. Cory menunjukkan bahwa semua bisa dilakukan asal dibarengi keseriusan. 
"Saya yakin, jika ada niat baik di hati, Tuhan pasti menolong," ujar Cory yang ayah-ibunya asli berdarah Papua.
Lahir di Wamena, 14 Juli 1986, Cory belajar sekolah dasar di Santo Yusuf, Wamena, selama dua tahun ia harus menjalani kelas tiga di SD Negeri Hedam Abepura, kemudian masuk sekolah menengah pertama Santo Paulus Padang Bulan, dan lanjut ke sekolah menengah umum negeri 1 Jayapura. Baru jalan setahun duduk di bangku SMA ia pindah ke sekolah menengah atas di Australia.
Lulus sekolah menengah atas di Australia pada 2006 ia mengikuti kursus bahasa Inggris selama enam bulan kemudian masuk sekolah penerbangan di Lilydale, Australia. Setelah mengikuti program teknik mesin selama setahun, ia mengikuti uji terbang.
"Saya mulai dari pesawat kecil jenis Cesna 172, Cesna 256, dan Cheroke selama pelatihan," ia mengenang.
Ia cerita, sebenarnya waktu kecil ia takut ketinggian, ada guncangan kecil saja pasti menjerit dan memeluk ibunya. Tapi demi melihat kondisi alam Papua tiap kali pulang kampung ke Paniai atau Wamena, dalam benaknya terekam pikiran betapa sulit warga bepergian. Kondisi alam memaksa wara menggunakan pesawat untuk bepergian, sementara biaya naik pesawat sulit dijangkau kebanyakan warga yang hanya petani. Belum lagi pikiran bagaimana kalau ada warga sakit, tapi tidak bisa dirujuk karena tidak punya uang untuk naik pesawat. Hal-hal demikian menumbuhkan minatnya sejak sekolah menengah atas untuk jadi pilot. 
"Saya tidak pernah berpikir akan jadi pilot, tapi setelah melihat kondisi Papua yang sulit dan terisolasi, saya berpikir tentang sesuatu yang bisa saya buat. Saya bersyukur orang tua mendukung," ujarnya.
Ia pun kemudian tidak lagi takut ketinggian. Melihat dirinya di posisi sekarang, ia percaya semua perempuan di Papua bisa menjadi apa saja asalkan dibarengi dengan usaha.
Octaviyanti Blandina Ronsumbre, Minat Awal Pramugari
 Octaviyanti Blandina Ronsumbre
Octaviyanti Blandina Ronsumbre perempuan penerbang asal Papua 


Ia akrab disapa Vivin, lahir di Biak, 30 Oktober 1988, ayahnya Yakobus Ronsumbre putra asli Papua, ibunya Susilowati perempuan berdarah Jawa. Menempuh pendidikan dasar sampai sekolah menengah atas di Biak.
Vivin seorang pilot dari salah satu maskapai penerbangan, telah mencatat ribuan jam terbang. Ia lulusan sekolah penerbang Nusa Flying International Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta pada 2011. Ia juga seorang ibu dari seorang anak yang diberi nama Dirgantara Ronsumbre, juga istri dari Agustinus Sujatmiko.
Sebenarnya, katanya, cita-cita awalnya adalah jadi pramugari. Begitu tergila-gilanya pada profesi pramugari, kalau ada kegiatan karnaval pada masa sekolah, ia nyaris selalu mengenakan kostum pramugari. Tapi saat mendaftar pramugari, ia ditolak karena tinggi badannya tidak memenuhi syarat, kurang dua sentimeter. Tinggi badan seorang pramugari minimal 160 sentimeter, ia tinggi badannya 158 sentimeter.
Ia kemudian mendapat motivasi dari kakaknya yang seorang pilot untuk masuk sekolah penerbang. Ia mengikuti saran kakaknya, dan ternyata lulus. 
Pertama bisa menerbangkan pesawat ia sungguh terharu hingga air matanya mengalir. Pengalamannya itu membuatnya percaya bahwa tak ada yang tidak mungkin di dunia ini, siapa pun perempuan, berasal dari mana pun bisa menjadi apa saja.
"Selama ada niat pasti ada jalan," katanya. 

Semangat Emansipasi Vivin, Pilot Perempuan Pertama dari Tanah Papua

Semangat Emansipasi Vivin, Pilot Perempuan Pertama dari Tanah Papua 
Dok Pribadi 


Jayapura - Namanya cukup panjang, yakni Octaviyanti Blandina Ronsumbre (26). Tapi jika ketemu, panggil saja Vivin. Dia pasti menoleh. Tak sekadar nama yang membuat perempuan ini istimewa, tapi juga prestasinya. Vivin adalah perempuan pertama dari tanah Papua yang menjadi pilot.

Laksana burung Cendrawasih, maskot Papua, Vivin piawai terbang. Perempuan setinggi 158 cm dan berbobot 60 kg ini mengantongi lebih dari 3 ribu jam terbang. 
Saat dihubungi detikcom, Selasa (21/4/2015), Vivin baru saja tiba di Jakarta dari Papua dengan menerbangkan pesawat Boeing 737-200 milik Trigana Air Service. Dia menyapa lembut dari balik telephon genggamnya dan mengatakan bisa wawacara melalui telepon. "Tapi tunggu sebentar ya, karena saya baru saja tiba di Jakarta," katanya.
Vivin sejak tahun 2011 menjadi pilot dengan jabatan first officer di PT Trigana Air, salah satu maskapai penerbangan yang beroperasi di Papua. Selama di Papua, Vivin mengemudikan pesawat kargo. Akhir Januari 2015, Vivin base di Jakarta dan akan menerbangkan pesawat penumpang. 
"Kalau di Jakarta, saya menjadi pilot ganteng, terbang pake dasi, he..he..he. Saya akan bawa penumpang ke Pangkalan Bun di Kalimantan Timur, ke Semarang Jawa Tengah, ke Surabaya Jawa Timur," sambung perempuan berambut lurus ini setelah memiliki waktu luang setiba di Jakarta.
Vivin lahir di Teluk Cendrawasih, Papua. Sejak TK, SD, SMP dan SMU, setiap kali ikut karnaval, ia mengenakan baju pramugari. Tapi sekali waktu di SMU, saat karnaval dia memakai baju pilot, baju kakaknya yang saat itu sudah menjadi pilot.
"Sejak kecil saya bercita-cita menjadi pramugari, tapi malah menjadi pilot," katanya.
Vivin merupakan lulusan sekolah pilot di Nusa Flying School International Halim Perdanakusuma tahun 2010-2011. "Saya sekolah pilot hanya 1 tahun 2 bulan. Masuk pendidikan mulai Januari 2010 dan wisuda Mei 2011," jelasnya.
Terkait peringatan Hari Kartini, Vivin teringat mamanya, Susilowati, yang saat ini tinggal di Biak, Papua. Menurut dia, sang mama selalu memberikan motivasi bahwa tidak saja laki-laki yang bisa pilot, tetapi perempuan juga bisa.
"Ternyata di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan," katanya menyadari jalan yang dirintis Ibu kartini.

Wednesday, April 4, 2018

Nancy Wompere, Dari Nonton TVRI Akhirnya Ke Amerika

Jayapura – Di masa kecil, sering nonton acara pelajaran Bahasa Inggris di televisi. Akhirnya menyukai bahasa pergaulan dunia itu. Bahkan kesukaan inilah mengantarnya ke Amerika dan menjadi dosen
.
Nancy Wompere (Jubi/Levi)

Panas matahari Jumat, 14 April 2013 siang itu, sudah mulai terasa menyengat di kulit. Waktu telah menunjukkan pukul 09.30 WIT. Tapi pesan pendek itu, baru saja masuk: “Kita jadi ketemu di Prima Garden, kalau bisa jam 11. 00 WIT.” Tulis pesan pendek Ruth Naomi Nancy Wompere, yang masuk ke handphone memastikan dirinya bisa ditemui untuk wawancara.
Berbekal pesan pendek itu, akhirnya tepat pukul 11.00 WIT, wawancara dilakukan di Café Prima Garden, Abepura. Saat pertama jumpa, wajah Nancy-begitu dia sering disapa- terlihat berseri. Perempuan lajang ini hanya berkata singkat. “Oh, iya, silahkan, terima kasih,” jawabnya dengan senyum sumringah, saat dijelaskan maksud tujuan pertemuan dan wawancara ini dilakukan.
Tanpa basa-basi yang panjang, Nancy yang kini berusia 31 tahun ini mulai mengisahkan pengalamannya. Gadis asal Biak ini, mulai bercerita. Dari sejak masih usia sekolah, kuliah, menjadi asisten dosen, hingga dosen di Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura. Bahkan termasuk saat dia mendapat beasiswa meraih gelar strata duanya di Amerika Serikat. Dalam tiap kisahnya, ada banyak nada syukur dan bangga keluar dari bibirnya.
“Nama lengkap saya Ruth Naomi Nency Wompere asal Biak. Tapi besar dan lahir di Kota Jayapura, tepatnya 23 April 1982 lalu,” kata Nancy, yang kini seorang dosen Bahasa Inggris di Uncen. Padahal dari pengakuannya, awalnya dia tak terlalu suka dan tertarik dengan Bahasa Inggris. Tapi, mungkin karena kebiasaan waktu kecil bersama sang ayah, Daan Wompere, tiap hari menonton siaran langsung pelajaran Bahasa Inggris di TVRI. Maka ak­hirnya, Nancy mulai menyukai bahasa pergaulan dunia itu.
“Walau tak begitu mengerti, tapi saya terus nonton. Jadi terbiasa. Sehingga setiap kata Bahasa Inggris yang saya sebutkan, selalu benar. Bahkan guru saya di TK tanya, belajar Bahasa Inggris dimana. Setelah masuk SD dan SMP, saya ikut kursus Bahasa Inggris. Ini untuk memperdalam,” jelas anak pertama dari tiga bersaudara dari ibu bernama Katarina Hababuk, yang masa TK dan SD di Kalam Kudus Jayapura.
Kembali ke Cita-cita
Tapi niat kuat untuk bisa berbahasa Inggris dan menyukai Bahasa Inggris masih terus melekat dalam diri Nancy. Padahal sebelumnya, saat masih di SD sempat bercita-cita jadi Misionaris. Terus saat duduk dibangku SMP hingga SMA, keinginan itu berubah, malah saat itu dia ingin menjadi seorang Pramugari. Bahkan saat lulus dari SMA, dia sempat melamar jadi Pramugari di Garuda. Tapi postur tinggi badan tak sesuai persyaratan, akhirnya dia tak diterima.
Setelah semua cita-cita itu pupus, Nancy kembali melirik bakat lamanya, yakni menggeluti dan mencintai Bahasa Inggris. Namun tak terpikir untuk menjadi dosen atau bisa mengajarkan Bahasa Inggris kepada orang lain. Saat masuk Uncen, pilihan pertamanya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Program Studi Bahasa Inggris.
Dari pilihan itulah, akhirnya dia mewujudkan keinginannya sebagai penyuka Bahasa Inggris. “Tapi saat itu tak ingin jadi seoarang guru atau tenaga pengajar, cuma ingin belajar bahasanya saja. Tapi saat di semester III, saya ditawari teman mengajar Bahasa Inggris di tempat kursus Bahasa Inggris milik Wahana Cita di Kota Jayapura. Kemudian pihak Uncen melalui Unit Pela­yanan Teknis (UPT) Bahasa Inggris juga meminta saya mengajar pada kursus Bahasa Inggris,” katanya.
Meski mengajar sambil kuliah, perempuan yang masih belum berkeinginan berkeluarga ini terus berupaya hingga menyelesaikan kuliahnya. Sehingga saat tahun 2007, dia diwisuda dengan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris. Tapi semenjak menempuh pendidikan di Uncen, biayanya sudah tak ditanggung lagi oleh orang tuanya. Tapi Nancy telah mendapat beasiswa sejak semester satu hingga semester akhir.
Setelah lulus kuliah, salah satu dosennya, Romi Rambe, waktu itu menjabat Koordinator Mata Kuliah Umum memintanya menjadi Asisten Dosen mengajar mata kuliah umum Bahasa Inggris untuk mahasiswa teknik Uncen. Tawaran itu diterima dan dijalani. Buntutnya, di tahun 2008 ada penawaran beasiswa Prestasi USAID dari Amerika. “Saya ikut mendaftar dan lolos,” katanya.
Ke Amerika
Saat di Amerika, Nancy tak terlalu banyak mengalami kendala. Dia mengaku bisa mengikuti pelajaran di salah satu universitas Kristen di Oregon di Portman, Amerika,  karena sewaktu kecil terbiasa nonton acara pelajaran Bahasa Inggris bersama ayahnya. “Saya ambil pendidikan pengajaran Bahasa Inggris atau disebut Teaching English and Second Language,” ujarnya.
Menurut Nancy, program pendidikannya di Amerika bisa diselesaikan lebih cepat dari waktu yang disediakan. Sewaktu mengambil program itu, mata kuliah yang diambil lebih banyak, sehingga lebih cepat selesai.
Sewaktu di Amerika, kata Nancy, dirinya sudah menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.  Tahun 2010 saat masih di Amerika, sudah ada pengusulan dari Uncen untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil. Pengurusan admi­nistrasi hingga Surat Keputusan PNS dikeluarkan diurus rekan-rekannya di Uncen. Bahkan dia sempat balik ke Jayapura mengikuti prajabatan sebagai PNS.
Setelah selesai menyelesaikan pendidikan di Ame rika, Nancy balik ke Jayapura di tahun 2011. “Saat pulang dari Amerika, saya langsung mengajar sebagai dosen di Uncen. Sebelumnya, mengajar mata kuliah umum, tapi ketika balik dari Amerika, sudah bisa mengajar di Program Studi Bahasa Inggris hingga sekarang,” katanya.
Pengalaman Mengajar
Nancy Wompere saat mengajar (Jubi/Levi)
Saat mengajar, Nancy mengaku santai dan tak terlalu pusing dengan mahasiswa atau anak didiknya yang ribut. Yang terpenting bagi dia, orang itu bisa mengikuti aturan yang dia terapkan. “Dalam ruangan biasanya ada yang bermain saat proses belajar mengajar berlangsung. Itu tak masalah. Perlu kesabaran. Tapi yang sangat berat bagi saya, ketika ada pertanyaan dari mahasiswa yang tak bisa dijawab. Di sinilah sebagai seorang dosen sangat dituntut untuk kreatif lagi,” katanya.
Kendala lain yang dihadapi, kata Nancy, adalah jumlah mahasiswa yang pintar sekali dan sudah tahu banyak seimbang dengan yang masih kurang sekali. “Hal ini juga menjadi kendala bagi Uncen ketika menerima mahasiswa. Dosen yang akan mengajar bingung karena dicampur semuanya. Ini yang berat. Kelas yang berasal dari latar belakang yang berbeda,” katanya.
Nancy mengaku, kini dia dipercaya mengajar mahasiswa semester II dengan mata kuliah seperti, Liste­ning, Speaking, Writing dan Reading. Sedangkan untuk mahasiswa semester VI, mengajar TOEFL. “Mahasiswa di semester II yang cukup bandel saat mengikut jam pelajaran. Bahkan ada satu mahasiswa yang sangat bandel, tapi pada dasarnya dia pintar, sebab memang sebelumnya pernah sekolah di Australia. Saya tak melihat itu sebagai ancaman,” katanya.
Kendala lain, kata Nancy, ada mahasiswa yang jarang masuk kuliah, bahkan absensinya tak memenuhi 70 persen untuk ujian, tapi ngotot mau ikut ujian. Hal ini yang selalu jadi masalah setiap dosen yang lainnya. “Biasanya, kebanyakan anak-anak Papua. Diduga, tindakan itu terjadi dipengaruhi banyak factor, mungkin karena masalah keluarga atau pribadi sehingga, sering tak muncul,” katanya.
Keinginan buat club
Nancy ingin mengembangkan dan membagi ilmunya ke orang lain. Tapi keinginan itu belum tercapai, akibat waktunya selalu full time untuk mengajar, baik sebagai dosen di Uncen, maupun instruktur kursus Bahasa Inggris di UPT Bahasa Inggris Uncen. “Saya ingin membuat English Club dari Uncen yang kerja sama dengan pihak lain. Ini nantinya bisa juga bermitra dengan SD,” terangnya.
Keinginan mendirikan English Club ini, terinspirasi dari pengalamannya saat di Amerika. “Di sana, mahasiswa perguruan tinggi, sukarela datang ke sekolah-sekolah untuk mengajar di luar jam pelajaran. Jadi saya berpikir seperti itu. Kurikulum SD kan meniadakan Bahasa Inggris tergantung dari sekolahnya. Jadi melihat hal itu, kita bisa masuk kesana,” ungkapnya.
Menurut Nancy, para mahasiswa semester akhir di Uncen, biasa menjadi tenaga volentir. Mereka bisa memakai ilmunya ke masyarakat. Masuk ke sekolah-sekolah, lalu tawarkan untuk mengajar meskipun tak ada dalam kurikulum. Anak-anak bisa belajar Bahasa Inggris dari usia muda.
“Sekolah tak kasih Bahasa Inggris, tapi Uncen menawarkan lebih ke volentir mahasiswa yang mengumpulkan biaya untuk beli snack atau apa, untuk mereka. Yang penting anak-anak SD bisa mendapat pelajaran Bahasa Inggris. Saya akan melobi keinginan itu ke Ketua Program Studi di tahun ajaran baru, setelah penerimaan mahasiswa baru,” tandasnya. (Jubi/Musa Abubar/Levi)

Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Jubi Edisi II, 2013

April 04, 2018

Putra dan Putri Asal Sorong Selatan Yang Menjadi Capten Penerbang Pada Salah Satu Perusahaan Penerbangan Swasta Di Papua.

Tuesday, March 20, 2018

Memiliki kulit gelap, Khoudia Diop jadi model dunia


Model Berkulit Super Gelap Ini Jadi Perhatian Dunia
Kulit Khoudia punya keunikan tersendiri
Sebagian besar orang masih memandang kecantikan identik dengan kulit mulus dan seputih salju. Perempuan berkulit hitam nan kelam sangat sulit untuk menjadi sebuah ikon kecantikan, apalagi menembus model papan atas dunia. Namun hal itu tidak terjadi pada Khoudia Diop, model asal Senegal yang kini punya paspor Prancis. Meski kulitnya sekelam arang, dia tetap bisa melejit ke dunia modeling papan atas.

Khoudia memang unik. Kulitnya memang sangat gelap, bahkan untuk ukuran ras Afrika. Tak heran jika dia melewati masa kecilnya dengan menyedihkan. Setiap bersosialisasi dengan rekan-rekan sebayanya atau saat bersekolah, hujan ejekan selalu menghampiri. Mulai disebut sebagai putri malam, iDark, hingga yang bikin emosi terbakar, ibu para binatang.

Meski sangat hitam, kulit Khoudia justru punya keunikan tersendiri. Sejak lahir, kulitnya yang hitam terlihat berkilat-kilat seperti ditaburi bedak perak. Menurut Oddity Central, kulitnya ini ternyata kaya akan pigmentasi tertentu. Khoudia disebut memiliki kulit melanin. Sementara melanin sendiri adalah protein yang berperan menentukan warna kulit seseorang. Warna kulit yang lebih gelap mempunyai melanin yang lebih banyak pada lapisan epidermis dibandingkan kulit yang berwarna terang. 


Melanin yang terkena sinar UV akan menimbulkan noda gelap pada kulit.
"Para pengganggu itu datang dari mana saja. Mereka pikir, saya akan merasa rendah diri dengan kulit melanin ini. Namun saya justru berpikir sebaliknya. Saya akan membuktikan jika warna kulit saya ini akan mengantarkan saya menjadi model yang sukses," ucap Khoudia.


Rasa percaya diri dan tak pernah mengeluhkan fisik pemberian Tuhan membuat Khoudia berjuang pantang menyerah dalam meretas karier impiannya.Dan Tuhan pun bekerja dengan caranya yang maha ajaib. Khoudia yang semasa kecil dihina dina laiknya binatang, kini kariernya sangat mencorong. Saat ini, Khoudia Diop aktif menjadi model di New York, AS, dan Perancis. Dan lewat akun Instagram pribadinya @melaniin.goddes, yang sudah diikuti lebih dari 104.000 orang, dia menunjukkan kelebihan kulitnya yang unik.


Sayangnya, masih banyak juga orang yang sirik dengan kesuksesan Khoudia. Mereka meragukan keaslian kulit Khoudia dan menuding tampilan eksotis kulitnya adalah olahan make-up. Apalagi data berbicara, sebagian besar wanita urban Afrika, termasuk di Senegal, gemar memakai krim pencerah kulit, bahkan di Nigeria persentasenya mencapai 75%.


Walau demikian, Tapi, tak sedikit yang terang-terangan menyatakan kekagumannya. Seperti yang terlihat di akun instagram Khoudia.
"Wonderfully beautiful! celebrate your beauty," komentar morenike70.
"How beautiful!!!!! Gorgeous! #melaninqueen," tulis akun chiassa1014.
"Pretty skin," komentar makayla_sister.


Khoudia memang wajib diteladani oleh kita semua, terutama mentalitasnya dalam membangun rasa percaya diri. Meski berkulit sehitam arang, dia tidak menjadi rendah diri dan mengutuk Tuhan. Sebaliknya, kelegaman kulitnya itu justru dijadikan penyemangat dan modal dalam menggapai impian.

Berkenalan dengan Restiana, Lulusan Terbaik Sekolah Pilot asal Papua Barat

 Foto: Aditya Mardiastuti/detikcom 

Banyuwangi - Restiana Zakinah (19) adalah satu-satunya wanita di angkatan keempat Program Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Resti lulus dari Balai Pendidikan dan Pelatihan Penerbangan (BP3) Banyuwangi dengan hasil terbaik di angkatannya dengan nilai 85,50.
"Awal mula saya bisa sampai di wisuda ini cukup sederhana. Awalnya hanya coba-coba keberuntungan saya," kata Resti usai Wisuda Penerbang Non Diploma Angkatan IV Papua dan Polisi Udara di Banyuwangi, Kamis (28/4/2016).
 
 Foto: Aditya MD/detikcom  

Tawaran untuk masuk ke sekolah penerbangan diterimanya dari kedua orangtuanya Anita Ema Bwefar dan Lukman La Ali. Anak kedua dari tiga bersaudara ini menempuh SMA di Bogor. Lulus SMA dia sudah tes untuk masuk jurusan psikologi di salah satu universitas swasta di Surabaya.
"2013 saya ikut tes di Jayapura alhamdulilah saya lulus seleksi ke Jakarta. Setelah di Jakarta tes lagi alhamdulilah lagi saya lulus untuk jurusan penerbang. Setelah itu saya jalani pendidikan di Banyuwangi sampai skrang dan akhirnya sampai diwisuda seperti sekarang ini," katanya.
 
Foto: Aditya MD/detikcom 

Resti tak bisa melupakan kenangannya selama menempuh diklat 2,5 tahun di BP3B. Salah satunya adalah pengalamannya ketika terbang pertama kali.
"Pas solo pertama kali (rasanya) serem dan seneng campur aduk. Serem karena takut nggak nyampe lagi, serem nggak ada orang di samping beneran sendirian. Sampai ahirnya bisa landing sendiri," ucapnya.  
Hari ini, BP3B mewisuda 19 penerbang non diploma angkatan IV Papua dan polisi udara. Ada 11 putra dan putri daerah Papua yang lulus dan 8 orang taruna dari polisi udara. (ams/trw)






Monday, December 25, 2017

December 25, 2017

Kisah Perempuan Papua Jadi Tulang Pungung Keluarga


image_title
Photo :VIVA.co.id/Zulfikar Husein

Masalah sosial dan kemiskinan telah memaksa banyak perempuan Papua menjadi tulang punggung keluarga tanpa kehadiran suami. Mereka telah kehilangan suami mereka, karena ditangkap, dibunuh, atau bahkan hilang tak jelas rimbanya.
Masalah perempuan Papua menjadi topik utama dalam parade budaya bertajuk 'Sa Ada di Sini: Suara Perempuan Papua Menghadapi Konflik yang Tak Kunjung Usai' di Goethe Institute, pada 7-8 Oktober 2017. Acara ini  digelar oleh Asia Justice And Rights bersama Papua Women Working Group. 
Dalam sesi diskusi dan pemaparan, salah seorang aktivis pembela hak-hak perempuan Papua, Frida Klasim menjelaskan, masalah perempuan di Papua saat ini adalah kondisi di mana mereka memegang penuh kendali perekonomian keluarga, dengan sejumlah tantangan yang harus mereka hadapi dalam kesehariannya.Hal itu tercermin dari padatnya aktivitas harian mereka, mulai dari urusan domestik rumah tangga, bahkan hingga aspek ekonomi yang harus mereka tanggung sendiri dengan berkebun demi menghidupi keluarganya.
"Hari ini mobilitas ekonomi di Papua banyak dipegang oleh kaum perempuan. Bahkan mereka sampai duduk lama-lama di pasar, dari pagi hingga sore untuk berjualan hasil tani mereka," ujar Frida di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 7 Oktober 2017.
Frida yang juga merupakan anggota DPP Perwakilan Adat Papua Barat itu mengatakan, salah satu penyebab dominannya peran perempuan dalam ekonomi harian masyarakat Papua adalah banyak dari suami mereka yang ditangkap, dibunuh, atau bahkan hilang tak jelas rimbanya.
Oleh karenanya, dia pun menyerukan adanya upaya pengorganisiran para wanita, tulang punggung keluarga, agar tercipta suatu bentuk solidaritas di antara mereka.
"Karena hal ini luar biasa dari segi potensi perempuan Papua. Tapi sayangnya belum dikoordinasi dengan baik," kata Frida.
Masalah kesehatan
Di satu sisi, Frida juga mengakui bahwa dengan beban hidup yang sedemikian berat tersebut, banyak perempuan Papua yang mengalami masalah kesehatan yang belum terdeteksi.
"Ada banyak masalah dari kesehatan tubuh mereka. Salah satu masalahnya adalah jauhnya jarak dari sumber ketersediaan air bersih dengan rumah mereka," kata Frida.
"Padahal kita tahu bersama bahwa air ini adalah hal yang utama dari segala aktivitas mereka, mulai dari kebun hingga di rumah," ujarnya menambahkan.
Maka, Frida pun berharap agar kanal-kanal ketersediaan air yang saat ini masih sangat minim di sejumlah wilayah Papua, bisa segera mendapat uluran tangan dari pemerintah agar bisa dijaga ketersediaannya.

"Karena soal kebutuhan akan air ini harus diutamakan. Sebagai kebutuhan dasar, hal ini tentunya sangat penting sebagaimana aspek transportasi yang juga harus mendukungnya," ujarnya.
Selengkapnya Baca : Disini



Follow us

Dowload Musik Disini !!!