Carolina Cory Kayame perempuan pilot asal Papua.
(Foto: Istimewa)
Jakarta - Banyak Kartini di
Papua, dua di antaranya adalah Carolina Cory Kayame dan Octaviyanti Blandina
Ronsumbre.
Mereka sama-sama menjadi penerbang,
inspirator kebangkitan Kartini-kartini milenial di bumi cenderawasih.
Carolina Cory Kayame, Awalnya
Takut Ketinggian
Caroline Cory Kayame perempuan pilot asala Papua
Ia meyakini saat dilahirkan manusia
memiliki kecerdasan yang diberikan sang pencipta, tinggal bagaimana manusia
mengolah kecerdasan tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan
sesama. Terkadang orang merasa bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan,
sehingga niat untuk berusaha menjadi tertahan. Cory menunjukkan bahwa semua
bisa dilakukan asal dibarengi keseriusan.
"Saya yakin, jika ada niat baik
di hati, Tuhan pasti menolong," ujar Cory yang ayah-ibunya asli berdarah
Papua.
Lahir di Wamena, 14 Juli 1986, Cory
belajar sekolah dasar di Santo Yusuf, Wamena, selama dua tahun ia harus
menjalani kelas tiga di SD Negeri Hedam Abepura, kemudian masuk sekolah
menengah pertama Santo Paulus Padang Bulan, dan lanjut ke sekolah menengah umum
negeri 1 Jayapura. Baru jalan setahun duduk di bangku SMA ia pindah ke sekolah
menengah atas di Australia.
Lulus sekolah menengah atas di
Australia pada 2006 ia mengikuti kursus bahasa Inggris selama enam bulan
kemudian masuk sekolah penerbangan di Lilydale, Australia. Setelah mengikuti
program teknik mesin selama setahun, ia mengikuti uji terbang.
"Saya mulai dari pesawat kecil
jenis Cesna 172, Cesna 256, dan Cheroke selama pelatihan," ia mengenang.
Ia cerita, sebenarnya waktu kecil ia
takut ketinggian, ada guncangan kecil saja pasti menjerit dan memeluk ibunya.
Tapi demi melihat kondisi alam Papua tiap kali pulang kampung ke Paniai atau
Wamena, dalam benaknya terekam pikiran betapa sulit warga bepergian. Kondisi
alam memaksa wara menggunakan pesawat untuk bepergian, sementara biaya naik
pesawat sulit dijangkau kebanyakan warga yang hanya petani. Belum lagi pikiran
bagaimana kalau ada warga sakit, tapi tidak bisa dirujuk karena tidak punya
uang untuk naik pesawat. Hal-hal demikian menumbuhkan minatnya sejak sekolah
menengah atas untuk jadi pilot.
"Saya tidak pernah berpikir akan
jadi pilot, tapi setelah melihat kondisi Papua yang sulit dan terisolasi, saya
berpikir tentang sesuatu yang bisa saya buat. Saya bersyukur orang tua
mendukung," ujarnya.
Ia pun kemudian tidak lagi takut
ketinggian. Melihat dirinya di posisi sekarang, ia percaya semua perempuan di
Papua bisa menjadi apa saja asalkan dibarengi dengan usaha.
Octaviyanti Blandina Ronsumbre,
Minat Awal Pramugari
Octaviyanti
Blandina Ronsumbre perempuan penerbang asal Papua
Ia akrab disapa Vivin, lahir di Biak,
30 Oktober 1988, ayahnya Yakobus Ronsumbre putra asli Papua, ibunya Susilowati
perempuan berdarah Jawa. Menempuh pendidikan dasar sampai sekolah menengah atas
di Biak.
Vivin seorang pilot dari salah satu
maskapai penerbangan, telah mencatat ribuan jam terbang. Ia lulusan sekolah
penerbang Nusa Flying International Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta pada
2011. Ia juga seorang ibu dari seorang anak yang diberi nama Dirgantara
Ronsumbre, juga istri dari Agustinus Sujatmiko.
Sebenarnya, katanya, cita-cita awalnya
adalah jadi pramugari. Begitu tergila-gilanya pada profesi pramugari, kalau ada
kegiatan karnaval pada masa sekolah, ia nyaris selalu mengenakan kostum
pramugari. Tapi saat mendaftar pramugari, ia ditolak karena tinggi badannya
tidak memenuhi syarat, kurang dua sentimeter. Tinggi badan seorang pramugari
minimal 160 sentimeter, ia tinggi badannya 158 sentimeter.
Ia kemudian mendapat motivasi dari
kakaknya yang seorang pilot untuk masuk sekolah penerbang. Ia mengikuti saran
kakaknya, dan ternyata lulus.
Pertama bisa menerbangkan pesawat ia
sungguh terharu hingga air matanya mengalir. Pengalamannya itu membuatnya
percaya bahwa tak ada yang tidak mungkin di dunia ini, siapa pun perempuan,
berasal dari mana pun bisa menjadi apa saja.
"Selama ada niat pasti ada
jalan," katanya.